Rabu, 12 Oktober 2016

Relasi Agama dan Negara di Indonesia

Relasi antara agama dan negara pada umumnya memiliki 3 kecendurangan. Pertama, negara berdasar agama, pada negara ini terjadi persatuan antara pemegang otoritas negara dan agama. Negara dan pemegang otoritas negara dijalankan berdasarkan agama tertentu. Pada model negara ini terdapat dua kemungkinan, yaitu warga negara diwajibkan memeluk agama resmi negara dan kemungkinan lainnya warga diberi kebebasan untuk memeluk agama sesuai keyakinannya.

Lambang Negara Indonesia
Kedua, agama sebagai spirit bernegara, pada model ini negara tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nilai-nilai agama menjadi spirit penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat berdasarkan keyakinan agamanya.

Ketiga, negara sekuler, pada negara model ini terdapat pemisahan otoritas negara dan agama, atau secara ekstrem negara tidak mengurus agama dan demikian juga agama tidak berkaitan dengan negara.[1]

Dalam pandangan penulis, Indonesia saat ini cenderung berada pada model kedua, yaitu agama sebagai spirit bernegara. Indonesia tidak menganut kepada agama tertentu, namun negara berdasar kepada prinsip ketuhanan, dan negara memberikan jaminan kebebasan beragama kepada warganya. Hal tersebut sesuai dengan spirit piagam Madinah yang diajarkan oleh Rosulullah SAW.

Jaminan kebebasan beragama membuat Indonesia memiliki keberagaman agama. Setidaknya ada 6 agama resmi di Indonesia. Kebebasan tersebut juga mengakibatkan penafsiran dalam agama berbede-beda dalam setiap wilayah di Indonesia. Misalnya, praktek keagamaan Islam di wilayah Aceh berbeda dengan praktek keagamaan di Ambon. Praktek keagamaan yang dimaksud disini bukanlah praktek keagamaan yang bersifat substansial, seperti sholat, puasa, zakat. Tetapi praktek keagamaan yang bersifat sunnah, seperti dzikir, perayaan hari besar agama Islam, tata cara pernikahan, dll. Hal ini disebabkan adat yang berbeda-beda dalam setiap wilayah.

Bisa dilihat, bahwa agama Islam di Indonesia mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Telah terjadi proses Pribumisasi Islam (meminjam terminologi Gus Dur). Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan budaya baru yang dapat diterima bersama. Adat dan budaya telah bercampur dengan syari’at agama Islam yang sangat sukar untuk dipisahkan antara satu sama lain, dan ia berjalan seiring tanpa pembatas yang jelas sebagaimana yang diharapkan.[2]

Islam adalah agama yang universal, sempurna, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilaf ulama dalam memahami ajaran agamanya.[3] Selain itu Islam memiliki nilai universalisme Islam, yaitu risalah Islam yang ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat dimuka bumi ini. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih.

Untuk itu Islam yang cocok diterapkan di Indonesia adalah Islam yang toleran dalam perbedaan keyakinan dan mampu menyokong tradisi-tradisi lokal untuk tumbuh bersinergi dengan budaya-budaya Islam. Asalkan tradisi-tradisi lokal tersebut tidak meyalahi dan bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah.
   
Daftar Pustaka
[1] Hasyim Asy’ari, Relasi Negara dan Agama di Indonesia (T.tp.: Jurnal Rechtsvinding, t.t.), h. 2.
[2] Alfian, Segi-Segi Kebudayaan Aceh (Jakarta: LP3ES, 1978), h. 38.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 275-276.

Minggu, 09 Oktober 2016

Selayang Pandang Masuknya Islam ke Nusantara

Berbicara tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara[1] sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Menurut Didin Saepudin, kontroversi tersebut bisa jadi karena masuknya Islam ke Nusantara menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan para ahli dan telah diperdebatkan oleh para ilmuan, namun agak sulit untuk disimpulkan.[2]

Peta Nusantara
Masuknya Islam ke wilayah Nusantara oleh MC. Rikclefs disebut sebagai suatu Proses yang sangat penting dalam sejarah Nusantara, namun juga yang paling tidak jelas. Ricklefs berpendapat bahwa kepastian sejarah tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang Islamisasi di Nusantara sangat langka dan sering sangat tidak informatif.[3] Rekonstruksi sejarah yang valid tentang masuknya Islam susah dilakukan karena kurangnya data.

Walaupun begitu, Ricklefs membagi dua proses yang memungkinkan mengenai penyebaran agama Islam di Nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Proses kedua, orang-orang Asing (Arab, India, Cina dll.) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu  wilayah Nusantara, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka melebur menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya.[4]

Dilihat dari segi kedatangan Islam, ada tiga teori besar mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra di dalam bukunya Jaringan Ulama. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah Crawfurd (1820), keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab.

Sedangkan  Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i, sama seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga di pegang oleh Neiman dan De Holander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir sebagai Sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut Mazhab Syafi’i seperti juga kaum Muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya mengatakan orang-orang Arab tanpa menunjuk asal tempatnya.[5]

Sedangkan Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini diantaranya adalah Buya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan bahwa aspek-aspek atau karakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan aspek-aspek eksternal. Al–Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang di identifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau setidaknya Persia.[6]

Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak Abad Ke-7 dan berasal dari Arabia. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan bahwa pada Abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di kanton (Cina) dan Fo-lo-an (daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab.[7]

Kedua, teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara dari India. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Ia menyimpulkan bahwa Islam di Asia Tenggara di sebarkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu, Nusantara menerima Islam dari India.

Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukan secara menyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Namun Pijnapel mengemukakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnapel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara di sebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India.[8]

Pendukung lain dari teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal disana sebagai pedagang, perantara dalam perdagangan timur tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah kata Hurgronje datang ke dunia Melayu – Indonesia sebagai penyebar Islam pertama.

Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya.[9] Mengenai waktu kedatangannya, Hourgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang yang di pandang sebagi tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara.[10]

Dukungan yang cukup Argumentatif atas teori India di sampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia dengan jelas menyebutkan bahwa Gujarat sebagai negeri asal Islam masuk ke Nusantara. Pendapatnya di dasarkan pada argument bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara – Camabay (Gujarat) – Timur Tengah – Eropa.

Argumentasi ini di perkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang di perbandingkan dengan nisan-nisan makam di Wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (pasai), Al–Malik al-Saleh menurut pengamatan Stutterheim bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat.[11]

Teori yang di kemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda. Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik Jawa Timur.

Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Camabay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut menyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia menurutnya berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini di kenal dengan teori batu nisan.[12]

Ketiga, teori yang menyatakan bahawa Islam datang dari Benggali (Kini Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh S.Q Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan demikian. Tome pires berpendapat bahwa kebanyakan orang-orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini dikembangkan oleh Fatimi bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Melayu yakni dari arah timur pantai bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini di buktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/1082 M di Leran Gresik.

Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette. Fatimi menentang keras pendapat itu, menurutnya bahwa menghubung-hubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya Fatimi menyatakan bentuk dan gaya batu nisan Al-Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti di datangkan dari Benggal bukan dari Gujarat.

Analisis ini di pergunakan Fatimi untuk membangun teorinya. Tetapi terdapat kelemahan pada pendapat Fatimi, bahwa Mazhab Fiqih yang dianut Muslim Nusantara (Mazhab Syafi’i) berbeda dengan Mazhab yang dianut Muslim Gujarat (Mazhab Hanafi). Perbedaan mazhab Fiqih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.[13]

Ada satu lagi teori yang menjelaskan asal muasal kedatangan Islam ke Nusantara, yaitu teori Cina. Ekspedisi Laksamana Cheng-Ho yang memasuki Nusantara menimbulkan dugaan bahwa Islam bisa di mungkinkan datang melalui Cina. A. Dahana, Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia (UI) Depok, berpendapat bahwa perkiraan Cheng-Ho juga menyebarkan Islam dalam ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta ini bisa di telusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia Tenggara.

Prof. Hembing Wijayakusama menyatakan bahwa Cheng-Ho berjasa besar dalam penyebaran agama Islam, pembauran dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang perdagangan, dan pertanian bagi daerah yang dikunjunginya. Cheng-Ho juga lanjut Hembing, memiliki peran besar dalam membentuk masyarakat Muslim Tionghoa dan membangun hubungan diplomatik dan persahabatan antara negara Tiongkok dan masyarakat Indonesia serta dengan masyarakat dunia lainnya.[14]

Slamet Mulyana, ahli sejarah, seperti yang di kutip Azyumardi Azra, juga menyinggung kemungkinan Islam di Nusantara berasal dari Cina. Hubungan antara Nusantara dan Cina lanjut Azra sudah terjalin sejak masa pra- Islam, sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting. Sumber-sumber Cina bahkan memberi informasi-informasi yang cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara.

Riwayat perjalanan pendeta pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuzza (Sriwijaya) telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia disana. Riwayat pengembara Chau Ju Kua juga memberitakan tentang adanya koloni Arab di Pesisir Barat Sumatera. Sumber-sumber Cina ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang di kenal dalam Sejarah Nusantara.[15]

Setelah mengetahui berbagai teori masuknya Islam ke Nusantara, selanjutnya akan diuraikan berbagai teori tentang siapakah yang membawa Islam ke Nusantara. Persoalan pembawa Islam ke Nusantara setidaknya dapat dijelaskan melalui dua teori. Pertama, adalah teori yang menekankan para pedagang. Keberadaan mereka yang telah melembagakan diri di berbagai wilayah Indonesia, menikah dengan beberapa penguasa lokal, dan telah menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional terhadap perusahaan dagang para penguasa pesisir, itu semua menjadi petunjuk adanya Islamisasi di wilayah Nusantara.

Mereka tidak hanya berdagang dan bersosialisasi tetapi juga terlibat dalam penyebaran Islam. Teori ini sangat berkaitan dengan teori pertama kedatangan Islam yang menyatakan bahwa Islam telah hadir di wilayah Nusantara sejak abad ke-7. kenyataan bahwa kontak dagang wilayah Nusantara dengan Timur tengah telah terjadi sejak sebelum abad ke-7, sehingga memungkinkan wilayah ini disinggahi pula oleh para pedagang Arab yang telah memeluk Islam pada atau setelah abad ke-7.[16]

Kedua, adalah teori yang menjelaskan peran para Da’i atau kaum Sufi, atau yang disebut oleh sebagian Orientalis sebagai kaum Misionari. Kedatangan para Sufi bukan hanya sebagai Guru, tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Teori ini sangat tepat apabila diletakkan pada konteks perkembangan Islam di Nusantara, setidaknya sejak abad ke–11, mengingat persebaran Sufisme ke luar wilayah utama dunia Islam (Timur-Tengah).[17] 

Azyumardi Azra mengutip pendapat A.H.Johns, menyatakan bahwa para Sufi pengembara adalah kelompok yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan Nusantara dalam jumlah besar. Hal ini setidaknya terjadi sejak abad ke-13 M. Faktor utama keberhasilan perpindahan agama penduduk kepada Islam adalah kemampuan kaum Sufi yang menyajikan Islam dalam kemasan atraktif dan menarik, khususnya dengan menekankan beberapa kesamaan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal dengan Islam, ketimbang perubahannya.[18]

Beberapa teori tentang proses masuknya Islam, pembawa Islam dan perkembangan Islam di Nusantara telah dipaparkan di atas. Selanjutnya masuk ke dalam ranah manakah yang paling benar dari beberapa teori tersebut. Menurut hemat penulis sangat sulit menentukan manakah teori yang paling benar. Sebabnya sampai sekarang pun perdebatan tak kunjung usai dari para ahli sejarah. Tetapi, jika penulis boleh berpendapat, teori arab lah yang paling mendekati kebenaran sedangkan dari segi pembawa agama Islam adalah teori pedagang.

Pendapat subyektif penulis didasarkan pada pertimbangan tentang fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina dan argumen Arnold bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumantera. Sebagian mereka melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota Komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.[19]

Selain itu mazhab yang dianut Indonesia sama dengan mazhab yang ada di Arab tepatnya di Mesir. Menurut Al-Attas seluruh literatur Islam tidak pernah mencatat satupun penulis dari India, Bengal dan Cina. Pengarang-pengarang  yang dianggap oleh Barat sebagai penulis buku masuknya Islam di Nusantara ternyata berasal dari Arab. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab.

Lebih lanjut Hamka menekankan bahwa Islam datang ke Nusantara lansung dari Arab, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, Mekah adalah pusat Islam, dan Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. Pendangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur dan Al-Attas yang menekankan pentingnya peranan Arab, bahkan menurut mereka teori yang lain pun sebenarnya tidak sepenuhnya menolak peranan Arab.[20]

Teori Arab ini mematahkan pandangan sarjana Barat yang berpendapat bahwa Islam yang masuk ke Indonesia sudah tidak murni lagi. Ibarat kata, Islam yang sampai di Indonesia seperti sungai-sungai yang mengalir dari Timur Tengah ke penjuru dunia. Saat sungai-sungai tersebut mengalir ke Indonesia melalui India, airnya sudah menjadi keruh, maka ajaran Islam yang masuk di Indonesia itu menjadi bercampur dengan budaya India (Hindu-Budha).[21] Menurut hemat penulis, secara formal Islam masuk di Indonesia dari arab, ajarannya masih murni dan disebarkan secara penetration pacifique (damai) melalui metode da’wah bi al-hal. Setelah proses ini, terjadilah akulturasi Islam dengan budaya setempat.


   
Daftar Pustaka
[1] Istilah Nusantara diperkenalkan oleh Eugene Douwes Dekker yang biasa dikenal sebagai Dr. Setiabudi. Istilah itu diambil dari naskah kuno majapahit yaitu Paraton yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19. Nusantara yang diperkenalkan Eugene mempunyai arti nusa di antara dua benua dan dua samudra lihat kompasiana.com/raden_rahmat_wijaya/asal-usul-nama-indonesia.
[2] Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Jurnal Mimbar Agama dan Budaya: UIN Jakarta Vol.23 No. 3, 2006). h. 225.
[3] MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press, 2005), h. 3.
[4] Ibid., h. 4.
[5] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII (Bandung: Mizan, 1994), h. 31.
[6] Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, 1997), h. 54.
[7] Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Depdikbud, 1975), h. 110-112.
[8] Alwi bin Thahrir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh (Jakarta: Lentera, 2001), h. 83.
[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, h. 40.
[10] Ibid.,
[11] Ibid., h. 25.
[12] Ibid.,
[13] Ibid., h. 32.
[14] Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng-Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta : Pustaka Popular Obor, 2005), h. 32.
[15] Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 67.
[16] Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 85-86.
[17] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 25.
[18] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, h. 32-33.
[19] Hilmy Bakar, “Kerajaan Islam Pertama di Nusantara,” artikel diakses pada 22 Juni 2015 dari http://kerajaanatjeh.blogspot.com/2009/01/kerajaan-atjeh-pertama-kerajaan-islam.html?m=1
[20] Ibid.,
[21]  Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, Risalah Seminar: Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia (Medan: T.pn.,1963), h, 76.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Islamic World View dalam pandangan Al-Attas

Islamic world view lahir dari pandangan ulama Muhammad Naquib Al-Attas untuk mebendung hadirnya Western worldview. Western worldview menurut Al-Attas berasas pada ideologi sekulerisme yang memisahkan antara urusan duniawi dan agama. Al-Attas memandang persoalan ini dengan menyatakan bahwa Islam mempunyai worldview tersendiri yang berbeda, maka dengan itu ia menghadang segala upaya westernisasi dengan menggunakan istilah dewesternisasi. Dewesternisasi dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh dunia Barat terhadap dunia Timur (Islam).
Muhammad Naquib Al-Attas
Westernisasi sendiri berasal dari kata Western yang artinya Barat. Westernisasi berarti proses pembaratan, pengambilalihan, atau peniruan budaya Barat. Unsur budaya yang paling cepat ditiru umumnya adalah budaya material.[1] Jadi, westernisasi adalah suatu kesatuan paham yang membentuk suatu gaya hidup yang masuk ke dalam sistem secara totalitas, atau dengan pengertian yang hampir sama bahwa westernisasi adalah proses transformasi nilai-nilai yang berasal dari Barat ke dalam masyarakat lain.[2]

Tentunya nilai yang ditransformasikan di sini adalah nilai-nilai way of life, tidak hanya transformasi teknologi dan ilmu semata. Sebagai contoh budaya pakaian dalam pernikahan, gaya hidup, dan budaya ulang tahun. Hal inilah yang membedakan antara modernitas dan westernisasi, walaupun secara sederhana di antara kedua term tersebut hampir memiliki kemiripan sehingga terdapat bias makna.
Worldview adalah term yang dipakai dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa Jerman yang semakna yakni, weltanschauung dengan arti, “pandangan hidup” atau “pandangan dunia”, dengan pengertiannya tentang realitas sebagai suatu keseluruhan atau pandangan tentang kosmos. Pandangan umum tentang dunia ini berarti pandangan yang menyangkut soal hakikat, nilai, arti, dan tujuan dunia serta hidup manusia. Selain itu dapat dikatakan bahwa worldview merupakan sistem prinsip, pandangan dan keyakinan yang dapat menentukan arah kegiatan individu, kelompok sosial, kelas atau masyarakat.

Istilah Islamic Worldview sendiri menurut Muhammad Naquib al-Attas adalah visi tentang realitas dan kebenaran, yang terbaca oleh mata hati kita dan yang menerangkan tentang hakikat wujud yang sesungguhnya, sebab totalitas dunia wujud itulah yang diproyeksikan Islam. Oleh sebab itu, istilah worldview ini diterjemahkan oleh al-Attas ke dalam terminologi Islam (bahasa Arab) sebagai Ru’yat al-Islam li al-Wujud yang berarti pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta.
Al-Attas berpendapat bahwa dalam pandangan hidup Islam (Islamic worldview) terdapat elemen penting yang menjadi karakter utamanya.[3] Elemen penting pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu diantaranya adalah Pertama, Dalam pandangan hidup Islam (Islamic worldview), realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak visible world dan yang tidak nampak invisible world.

Kedua, Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) bercirikan pada metode berfikir yang tauhid integral. Artinya dalam memahami realitas dan kebenaran pandangan hidup Islam (Islamic worldview) menggunakan metode yang tidak dikotomi, yang membedakan antara objektif dan subjektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual dsb.[4]
Ketiga, Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Keempat, Elemen-elemen pandangan hidup Islam (Islamic worldview) terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaan-Nya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan.

Kelima, Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) memiliki elemen utama yang paling mendasar yaitu konsep tentang Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam adalah sentral dan tidak sama dengan konsep-konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain, seperti dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenisme, tradisi filsafat Barat, atau tradisi mistik Timur dan Barat sekaligus.
Islam adalah pandangan hidup yang jauh lebih dalam menjangkau keseluruhan kehidupan maupun metode berpikir umat Islam. Pandangan hidup itulah yang menyebabkan cara berpikir dan perbuatan seorang Muslim berbeda dengan mereka yang ingkar (kafir). Inilah yang disebut sebagai the worldview of Islam.

Daftar Pustaka
[1] Janu Murdiyatmoko, Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat (Bandung: Grafindo, 2007), 21.
[2] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perliku Politik Bangsa (Bandung: Mizan, 1996), 13.
[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Islam Sebagai Pandangan Hidup, dalam Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), h. 9.
[4] Ibid.,

Selasa, 24 Mei 2016

Wakil Kepala Daerah, Perlukah?

UUD 1945 secara eksplisit tidak menyebutkan adanya peraturan tentang adanya jabatan wakil kepala daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, ataupun Wakil Walikota. Sedangkan jabatan adanya Ketua Daerah secara tegas tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menandakan adanya jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Berbeda dengan jabatan Wakil Kepala Daerah, UUD 1945 dengan jelas menyebutkan adanya jabatan Wakil Presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) UUD 1945, yaitu “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”.

Ilustrasi
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, seberapakah pentingkah jabatan Wakil Kepala Daerah sehingga tidak tertuang dalam undang-undang. Jimly Asshiddiqie, dalam sebuah makalah yang berjudul “Pemilihan Umum Serentak dan Penguatan Sistem Pemerintahan” mengatakan, “Dalam UUD, kedudukan pemerintahan daerah itu sangatlah penting. Tidak ada undang-undang dasar negara mana pun di dunia yang tidak mengatur hal-hal penting yang berkenaan dengan pemerintahan daerah atau pemerintahan negara-negara bagian secara eksplisit. Karena itu, sekiranya jabatan wakil kepala daerah itu memang dinilai demikian pentingnya bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, sudah seharusnya hal itu dimuat dengan jelas dalam Pasal 18 UUD 1945”.

Sekiranya memang perlu jabatan Wakil Kepala Daerah, sudah seharusnya jabatan tersebut diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Jika tidak, berarti jabatan itu memang tidak diperlukan, dan tidak perlu dituangkan dalam undang-undang. Di Negara Barat seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, Gubernur sebagai pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official), juga tidak memiliki wakil yang sama-sama dipilih dalam satu paket pemilihan. Jabatan wakil dipilih melalui pengangkatan (appointment) atas usulan kepala daerah terpilih.

Untuk itu jabatan Wakil Kepala Daerah yang dipilih dalam satu paket pemilihan umum sebagaimana yang tertuang dalam UU Plkada Pasal I angka 1 perubahan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 2015 yang berbunyi, “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis” adalah jabatan haram.

Secara litterlijk (norma yang tertulis) UU Pilkada jelas dan tegas berbeda dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang hanya berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.

Oleh karenanya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara berpasangan sesuai UU NOMOR 8 TAHUN 2015 jelas tidak mempunyai pijakan hukum yang mendasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa UU Pilkada secara jelas dan tegas telah bertentangan dengan UUD 1945 bahwa Wakil Kepala Daerah tidak diatur oleh konstitusi. Untuk menuju Indonesia yang lebih baik tentunya kita harus konsisten dalam bernegara dengan menjalankan amanat konstitusi.

Selasa, 17 Mei 2016

Berpikir dengan Jernih

Kegiatan berpikir sudah menjadi rutinitas dalam setiap aktivitas. Mau makan kita berpikir, mau tidur berpikir, mau ke kamar mandi pun juga perlu berpikir. Dalam setiap aspek pasti membutuhkan berpikir. Bisa dikatakan manusia tidak akan hidup normal tanpa berpikir. Satu-satunya manusia yang tanpa berpikir hanyalah orang gila. Ya, inilah salah satu pembeda manusia dari mahluk ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dibekali akal untuk berpikir. Manusia adalah homo sapiens, mahluk yang berpikir. Lantas apa itu berpikir?

Ilustrasi
Berpikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan (Partap Sing Mehra, 1988). Kita mengetahui bahwa buah mangga itu kulitnya berwarna hijau, jika dibuka berwarna kuning itu artinya sudah matang, jika putih berarti belum matang, itu yang dinamakan pengetahuan. Hasil dari kegiatan jiwa yang memproses otak. Ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam mencapai pengetahuan, Pertama, adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran. Kedua, gagasan ini sesuai dengan benda yang sebenarnya ada. Ketiga, haruslah ada suatu keyakinan tentang persesuaian itu.

Katakanlah kita mengetahui ada buah mangga berwarna hijau. Hal ini berarti bahwa di dalam pikiran kita ada suatu gagasan tentang adanya suatu benda yang berwarna hijau, menggantung di ranting pohon dan bisa dimakan. Gagasan dalam pikiran ini bersesuaian dengan mangga berwarna hijau yang betul-betul ada. Selanjutnya kita yakin bahwa mangga itu betul-betul ada. Apabila salah satu dari tiga unsur ini hilang, pengetahuan tidaklah akan terjadi. Misalnya, ada gagasan mengenai suatu benda dan kita yakin benda itu benar-benar ada tetapi bendanya itu tidak ada, maka pengetahuan tidaklah terjadi.

Lalu bagaimana dengan hal gaib? Dunia gaib tidak masuk ke dalam pengetahuan, bisa disebut mitos. Hal ini dikarenakan ketiga unsur tersebut kebanyakan tidak terpenuhi, karena memang dunia gaib tidak bisa dilihat kecuali hanya segelintir orang. Nah disini peran kepercayaan dan doktrin yang kita terima dari lingkungan yang berperan. Karena tidak masuk ke dalam pengetahuan, maka hal gaib bersifat subyektif dan relatif.

Peran kepercayaan dan doktrin lingkungan sangat kental disini. Kita mengetahui bahwa bentuk hantu di dunia ini berbeda-beda di setiap negara, Tuhan pun juga terdiri dari berbagai versi, hal ini dikarenakan kepercayaan dan doktrin lingkungan yang diterima setiap orang berbeda-beda. Kita menyakini bahwa Agama Islam adalah agama yang paling benar dan kita rela membela mati-matian prinsip ini, karena semenjak kecil kita sudah ditanamkan doktrin kepercayaan akan kebenaran Islam dari orang tua kita dan lingkungan kita pun mendukung penuh kepercayaan tersebut, jadilah kita fanatik terhadap kepercayaan ini.

Lalu coba sekarang kita balik, seandainya kita semenjak lahir hidup di Amerika dan lahir dari keluarga Kristen misalnya. Maka kita akan dengan sendirinya menganggap bahwa agama Kristen lah yang paling benar. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan kenapa banyak orang yang mengaku beragama tetapi etikanya tidak sesuai atau melenceng dari tuntunan hidup agamanya. Hal ini disebabkan orang tersebut tidak mencari unsur-unsur pengetahuan dari agamanya.

Menyakini dan memeluk agama hanya dikarenakan atas dasar kepercayaan dan doktrin yang ditanam semenjak lahir oleh lingkungannya tanpa mencari sendiri unsur-unsur pengetahuan dari agamanya. Ini disebut dengan kelaparan intelektualitas jiwa. Kita juga bisa mengerti kenapa orang yang berpindah agama (muallaf) sangat hebat dalam mengaplikasikan tuntunan hidup agamanya. Sebab muallaf sudah berhasil mencari unsur-unsur pengetahuan dan memilah agama yang paling benar diantara yang benar. Sehingga ia merasa puas dan tidak lapar intelektualitas jiwanya.

Setidaknya ada tiga sumber bagimana memperoleh pengetahuan, yaitu pertama pengetahuan langsung. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dari suatu konklusi. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari kesaksian dan autoritas. Pengetahuan secara langsung dapat diperoleh dari dua sumber yaitu presepsi ekstren dan presepsi intern. Pada presepsi ekstren, secara langsung kita dapat mengetahui suatu benda atau pengetahuan melalui alat-alat indera kita, seperti mata, telinga, kulit dan lain-lain. Kita bisa merasakan panas atau dingin melalui kulit kita. Presepsi intern, kita secara langsung dapat mengetahui keadaan dalam diri kita sendir, misalnya merasa sedih atau bahagia. Selanjutnya menarik suatu konklusi.

Kita dapat mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui dengan pertolongan data. Data diperoleh melalui pengetahuan secara langsung tadi. Misalnya kita melihat asap secara langsung melalui indera mata, selanjutnya kita melihat juga bahwa disitu juga ada api. Selanjutnya kita menarik kesimpulan bahwa jika ada asap berarti ada api. Maka untuk seterusnya jika melihat asap, kita akan berpikir disitu juga ada api.

Dan yang terakhir kesaksian dan autoriti. Kesaksian adalah keterangan yang diperoleh dari sumber yang terpercaya. Banyaknya ilmu pengetahuan dan tuntutan hidup untuk belajar sebanyak-banyaknya menyebabkan kita haus akan pengetahuan, makadari itu diperlukan sumber-sumber yang terpercaya untuk memperoleh pengetahuan karena pengetahuan secara langsung sangat terbatas. Sumber-sumber yang terpecaya itu bisa dari bertanya kepada orang lain atau melalui buku, film dan lain-lain. Autoriti adalah pengetahuan yang diperoleh melalui lembaga, benda atau individu yang ditanamkan secara kuat dengan suatu kepercayaan (doktrin).

Sebelum diterima, pengetahuan secara kesaksian dan autoriti seharusnya diteliti terlebih dahulu kebenarannya dari berbagai sumber lalu memperbandingkannya. Tidak asal menerima begitu saja karena bisa menyebabkan kesesatan (deathlock) yang berujung fanatik buta. Menganggap argumen nya lah yang paling benar. Apalagi dipengaruhi oleh ikatan perasaan. Sebagai manusia sudah seharusnya kita berpikir terbuka terhadap berbagai pengetahuan yang ada, bersifat open mind dan eksklusif. Dengan pengecualian tidak menerima mentah-mentah pengetahuan tersebut.

Terkait soal open mind dan eksklusif, sebaiknya kita bahas dalil Nietzsche tentang nihilisme. Menurut Nietzsche dalam berpikir yang jernih kita seharusnya membuang semua nilai-nilai yang ada dalam pikiran kita, sehingga kita dalam keadaan nihil. Dalam kenihilan inilah kita bisa berpikir jernih dan mencari kebenaran sejati. Contohnya begini, dalam keseharian kita status jomblo selalu identik dengan kata fakir kasih sayang atau kesepian. Kita bisa berpikir begitu karena ulah elite-elite pacaranisme yang sensi terhadap kebebasan para jomblo. Maka dibuatlah konstruksi bahwa para jomblo itu fakir kasih sayang atau kesepian.

Untuk mencari kebenaran sejati apa itu sebenarnya status jomblo, pertama-tama kita harus menghapus semua nilai-nilai atau stigma yang terkait dengan jomblo sehingga benar-benar dalam keadaan nihil. Dalam keadaan kenihilan inilah kita bisa berpikir dengan jernih apa itu status jomblo dalam perspektif kita sendiri.

Kritik terhadap Nasionalisme

Banyak yang masih salah kaprah dalam memandang nasionalisme. Kebanyakan orang memandang nasionalisme sebagai suatu kebaikan yang cinta akan negerinya sendiri. Berasal dari kata nation. Mencintai negeri berarti nasionalistis. Tak ayal banyak kredo nasionalisme bermunculan. Bahkan sampai menjadi jargon politik beberapa partai.

Ilustrasi
Padahal, nasionalisme berasal dari kata nasci yang berarti dilahirkan. Nasionalisme awal mulanya digunakan untuk menandakan sekumpulan orang yang disatukan atas dasar tempat kelahiran. Bersatu karena suatu ikatan emosi satu tanah kelahiran.
Pada abad ke 18 di Prancis, konsep nasionalisme mulai dipolitisasikan oleh masyarakat menengah yang di dalamnya didominasi kaum subjek. Kaum subjek merupakan rakyat Perancis namun posisinya bukan sebagai citizen. Mempunyai kewajiban kepada Negara tetapi tidak memiliki hak sebagai citizen.

Nasionalisme mulai digelorakan oleh kaum subjek untuk menuntut kejelasan sebagai citizen. Buntutnya terjadi revolusi Perancis. Perlu diketahui pada waktu itu Perancis di bawah bayang-bayang absolutisme Louis XIV. Pada waktu itu Louis XIV mengeluarkan ucapan l’etat c’est moi (Negara adalah saya), masyarakat hanyalah subjek.

Nasionalisme yang berlebihan akan menyebabkan chauvinisme, yaitu cinta negara yang berlebih. Pada akhirnya mendorong mulainya perang dunia. Cinta akan negara yang berlebih (Chauvinis) mengakibatkan membludaknya national interest (kepentingan nasional). Guna memenuhi national interest maka mulailah Negara melakukan imperialisme dan kolonialisme.

Dampak dari chauvinisme dapat dilihat dari ekspansi nazi yang berpangkal dari anggapan bahwa ras arya lah yang paling unggul. Melakukan genocide atas ras lain untuk menciptakan tatanan masyarakat yang superior.

Nasionalisme juga membentuk rivalitas nasionalisme yang lain. Antara nasionalisme akan berbenturan satu sama lain, yang nantinya berakhir dengan permusuhan dan kebencian. Awal mula dari konflik. Untuk itu perlulah kita sebagai citizen menreinterpretasi makna nasionalisme. Cinta negeri dengan sewajarnya saja.

Partai Politik dalam Hubungan Eksekutif dan Legislatif

Kekuasaan bagaimanapun bentuknya tidak bisa dilepaskan dari partai politik. Meskipun ada bentuk sistem politik tertentu yang memangkas eksistensi partai politik, tetap saja partai politik tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Gejala hadirnya partai politik dalam suatu negara selalu ada, dikarenakan partai politik merupakan sarana yang paling ampuh untuk merebut kekuasaan maupun menekannya. Partai politik juga mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi kebijakan umum.

Ilustrasi
Setiap penguasa umumnya memperoleh kekuasaan karena dukungan dari partai politik. Tak terlebih lembaga eksekutif maupun legislatif. Oleh karena itu, setiap penguasa mempunyai kepentingan parpol yang menyertainya. Akibatnya setiap keputusan yang dihasilkan murni bukan karena kepentingan rakyat. Melainkan karena kepentingan partainya. Apalagi sistem  multipartai yang diterapkan di Indonesia dewasa ini menuntut adanya proses koalisi untuk bisa mencapai kata mufakat dalam meloloskan kebijakan maupun UU. Karena tidak mungkin bisa satu partai memperoleh keputusan bulat dalam suatu rapat. Proses lobbying pun tak dapat dihindarkan. 

Banyaknya kepentingan yang ingin diakomodir pun lama-kelamaan menyebabkan divided government. Tarik ulur kepentingan pun terjadi. Pemerintah tidak bisa menjalankan fungsi semestinya. Gambaran hubungan antara legislatif dan eksekutif sekiranya seperi itu. Kebijakan yang dikeluarkan eksekutif tidak akan berjalan jika eksekutif tidak menguasai mayoritas parlemen. Begitupun sebaliknya. Kebijakan eksekutif akan selalu dipertanyakan dan dicari kesalahannya melalui hak interpelasi dan hak veto legislatif apabila eksekutif tidak menguasai mayoritas parlemen.

Peranan partai politik besar peranannya dalam mencipatakan pemerintahan yang stabil dan efektif jika eksekutif berasal dari partai yang sama dengan mayoritas parlemen. Dengan begitu arah tujuan kebijakan akan saling bersinergi dan mendukung. Tidak ada proses rumit debat argumen dalam rapat yang akan memperlambat kinerja pemerintah. Eksekutif dan legislatif akan selaras dalam berkerja. Dalam hal ini partai akan menjadi unsur unified government.

Sabtu, 30 April 2016

Islam dan Demokrasi; Pengalaman Indonesia di Masa Orde Baru

Islam dan demokrasi di masa orde baru mempunyai sisi bipolar. Dilain pihak bersifat positif dilain lagi bersifat negatif. Tetapi kebanyakan bersifat negatif. Hal ini memang selalu terjadi didalam panggung demokrasi, khususnya di ranah politik. Dalam dunia politik tidak ada yang namanya benar dan salah, yang ada hanyalah bagaimana mendapatkan kekuasaan dan bagaimana cara mempertahankan. Harold D Laswell merumuskan politik sebagai who gets what, when and how. Kalau kita berbicara mengenai demokrasi pasti tidak akan jauh-jauh dari politik.

Agama dan Politik
Pada masa orde baru posisi Soeharto bisa dikatakan cukup dilematis, Antara ingin memberangus Islam agar tidak muncul ke panggung politik dan ingin mendapatkan dukungan dari kalangan agamis Islam. Upaya Soeharto memberangus Islam dari pangung politik ini bisa dilihat dengan 2 tahapan.

Tahapan pertama (1966-1976), sebagai tahap pengkondisian. Menurut Din Syamsuddin, respon umat Islam terhadap perubahan politik selama 10 tahun pertama OrBa (1966-1976) yang dalam hubungannya dengan agenda depolitisasi Islam dapat dipandang sebagai suatu pengkondisian hubungan antara Islam dengan negara Pancasila dan politik. Hal ini bisa dilihat pada sidang MPRS, antara tahun 1966-1967, umat Islam mengajukan tuntutan agar presiden berasal dari kalangan agama Islam dan negara berdasarkan asas Islam, tetapi selalu ditolak.

Berikutnya pada tanggal 15 Februari 1968 Soeharto memberitahukan bahwa tidak seorang pun bekas Masyumi diizinkan untuk memimpin dan mengambil peranan dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Terlihat sekali pada periode ini Soeharto berusaha mencundangi demokrasi umat Islam. 4 partai Islam difusikan menjadi satu partai yakni PPP. 4 partai tersebut adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti.

Tahapan kedua (1976-1986), merupakan masa uji coba. Rezim menguji depolitisasi Islam secara formal dengan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancasila sebagai asas. Pada tahun-tahun ini kebebasan berkumpul pun dibatasi dan setiap ingin menyelenggarakan kegiatan keagamaan harus mempunyai izin dahulu melalui sistem license. Dengan sistem license, seorang Muslim untuk bisa berdakwah atau berkhotbah di mesjid harus memiliki surat izin dari pemerintah dan surat izin itu bisa dicabut kembali bila yang bersangkutan melakukan pelanggaran, diantaranya adalah mengkritik keras pemerintah dan membakar emosi massa untuk melawan pemerintah.

Serangkaian tindakan dilakukan rezim Soeharto untuk membungkam aspirasi umat Islam, seperti kasus yang kemudian dikenal dengan kasus Tanjung Priuk 12 September 1984. Kasus ini berawal dari invesstigasi militer (AD) yang mengidentifikasi kawasan pelabuhan Tanjung Priuk sebagai basis Islam fundamantalis yang setiap waktu bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan OrBa. Pada kasus Tanjung Priok ini, beberapa masjid lokal diberangus dan sejumlah Muslim yang memprotes tindakan itu melalui sebuah demonstrasi damai malah ditembak dan dibunuh selama diadakannya operasi yang disebut dengan operasi keamanan di bawah komando Jenderal Benny Moerdani. Jumlah korban menurut hasil penelitian Ernst Utrecht, operasi Tanjung Priuk itu telah menyebabkan 63 orang yang tidak berdosa terbunuh dan lebih dari 100 orang lainnya terluka parah.

Akibat lainnya dari kebencian rezim OrBa adalah ditahannya beberapa figur pemimpin agama maupun politik dalam beberapa waktu, seperti Salim Qadar seorang da’i militan, A.M. Fatwa seorang tokoh Islam sekaligus sekretaris kelompok opisisi Petisi 50 dan Letnan Jenderal (Purnawirawan) H.R. Dharsono, mantan Sekretaris Jenderal ASEAN.

Kasus lainnya lagi yang melanggengkan hegemoni rezim Orba terhadap sendi-sendi masyarakat adalah dengan diadakannya operasi Penembakan Misterius (Petrus). Sekalipun kebijakan itu, menurut pengakuan pihak keamanan, ditujukan untuk memberantas kriminalitas, kenyataan membuktikan bahwa operasi itu ditujukan untuk mengeliminasi masyarakat yang dipandang oleh kelompok militer sebagai potensi ancaman bagi kepentingan kekuasaan Soeharto. Pada operasi Petrus itu tercatat bahwa hingga pertengahan 1980an, jumlah korban mencapai lebih dari 10.000 orang. Banyak diantara korban itu adalah para pemuda Muslim yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah. Oleh karena itu, Utrecht menyimpulkan bahwa Pembunuhan Misterius itu sebenarnya adalah pembunuhan politis umat Islam.

Selasa, 12 April 2016

Proses Transisi Presiden Soekarno

Proses perpindahan kekuasaan dari tampuk kekuasaan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto memang banyak dijumpai kontroversi dan tumbal. Pasalnya, peristiwa transisi pemegang kekuasaan tersebut diwarnai dengan jatuhnya ratusan korban dan surat misteri yang tak jelas isinya. Ratusan korban berjatuhan mengiringi pergantian kepemimpinan tersebut. Diawali dengan konflik berdarah, penculikan beserta pembunuhan jenderal-jenderal yang dilakukan oleh cakrabirawa dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kini dikenal dengan G30S. Lalu dilanjutkan dengan pelarangan dan pembersihan anggota-angota PKI.



 
Mandat penyerahan kekuasaan yang dilakukan oleh Soekarno lewat surat perintah sebelas maret (SUPERSEMAR) pun tidak jelas isinya. Apakah supersemar merupakan penyerahan kekuasaan secara mutlak atau hanya surat perintah harian biasa, hal ini masih menjadi misteri sebab sampai sekarang surat asli supersemar hilang tak tahu kemana. Banyak dari para konspirator maupun pengamat mengatakan isi dari supersemar yang sekarang ini sudah tidak asli alias diubah. Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat. Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan supersemar maka dimulailah intrik-intrik politik Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai pangkopkamtib. Segala tindakan Soeharto dibenarkan bahkan disahkan oleh MPRS berdasarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.

Jika berbicara mengenai proses runtuhnya orde baru, maka layaknya dimulai dari peristiwa G30SPKI. Peristiwa yang menewaskan 6 perwira tinggi. Kejadian tersebut merupakan langkah dasar dari peristiwa proses transisi orde lama ke orde baru. Pada tanggal 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan 6 perwira tinggi yang mayatnya dibuang di lubang buaya Jakarta Timur. Tindakan itu dilakukan oleh cakrabirawa dan simpatisan PKI guna melindungi Soekarno dari serangan kudeta yang direncanakan oleh para dewan (Jenderal Angkatan Darat) di Jakarta yang telah korup dan menjadi kaki tangan Badan Intelegen Pusat Amerika Serikat (CIA). Tindakan penculikan dan pembunuhan 6 perwira tinggi dikecam dan diprotes oleh massa. Akibatnya terjadi demonstrasi menuntut pembubaran PKI. Pada waktu itu kebutuhan pokok melambung tinggi, inflasi mencapai 600% hanya dalam waktu setahun karena barang-barang kebutuhan pokok (sembako) menghilang secara tiba-tiba, sehingga memaksa bank Indonesia mensanering nilai rupiah dari Rp.1.000,- menjadi Rp.1. Konstalasi tersebut mengakibatkan berbagai kekuatan politik untuk melakukan proses konsolidasi, antara lain kelompok mahasiswa sebagai presure group melakukan aksi moral dengan tuntutan TRITURA (tiga tuntutan rakyat), yaiut 1. Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya 2. Perombakan kabinet DWIKORA 3. Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan.

Setelah peristiwa G30S, situasi negara menjadi sangat genting. Demonstrasi besar-besaran terjadi dimana-mana menuntut TRITURA. Ditengah situasi genting tersebut lahirlah surat perintah sebelas maret, isi dari supersemar ialah memerintahkan Mayjen Soeharto, dengan atas nama Presiden/Penglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Penerbitan Surat Perintah tersebut secara jelas memberikan keleluasaan cukup besar kepada orang yang sudah diketahui Presiden sangat tidak bersahabat dengan PKI beserta orang-orang yang terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.[1]
   
Keluarnya supersemar sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Apakah supersemar hanya surat perintah biasa atau surat perpindahan kekuasaan. Apakah Soekarno mengeluarkan supersemar berdasarkan kemauannya atau atas desakan orang lain. Menurut Ricklef dalam bukunya yang berjudul Sejarah Indonesia Modern menyebutkan bahwa Malam itu tiga jendral yang bertugas sebagai utusan Soeharto pergi ke Bogor dan membujuk Soekarno untuk menandatangani sebuah dokumen yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban menjalankan pemerintahan dan melindungi presiden atas nama revolusi. Dari pernyataan tersebut jelas adanya permainan manuver halus antara Soekarno dan Soeharto. Pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno memberikan surat perintah yang bernama Supersemar kepada Soeharto untuk menjaga ketertiban. Namun yang dilakukan oleh Soeharto tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Soekarno. Soeharto malah membubarkan PKI dan membuat kebijakan-kebijakan yang baru sehingga posisi Soekarno terpojokan dan terjadinya perpindahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.[2]

Surat Perintah tersebut dimanfaatkan Soeharto untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya serta menjadikannya sebagai partai terlarang. Atas tindakan kesewenangan Soeharto, Presiden Soekarno marah-marah dan menyatakan bahwa maksud Surat Perintah tersebut hanya dalam lingkup teknis militer dan bukan tindakan politis. Namun payung hukum yang kemudian dipergunakan untuk menertibkan tindakan Mayjen Soeharto, berupa Penetapan Presiden (tanggal 13 Maret 1966) yang isinya memerintahkan Mayjen Soeharto untuk kembali kepada Pelaksanaan Surat Perintah Presiden dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis. Penpres tersebut secara mudah dapat dipahami tidak memiliki implikasi hukum sama sekali untuk menghapus tindakan Mayjen Soeharto membubarkan PKI. Terkecuali jika melalui surat perintah yang sama, Presiden menyatakan mencabut keputusan pemegang mandat membubarkan PKI dan menyatakan membatalkan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya. Tindakan Mayjen Soeharto bahkan disahkan oleh MPRS berdasarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.

Pidato Soekarno tentang penangungjawaban atas peristiwa G30S/PKI yang dikenal dengan NAWAKSARA ditolak oleh sidang mprs dengan surat presiden no. 01/pres./'67 tanggal 10 januari 1967. Selanjutnya pada tanggal 23 februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan negara kepada Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap MPRS No. IX tahun 1967. Tidak lama setelah penyerahan kekuasaan, pada tanggal 7-12 Maret 1967, MPRS menyelenggarakan Sidang istimewa di Jakarta. Dalam sidang tersebut, MPRS dengan ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967 memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Selain itu, MPRS juga menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara. Melalui ketetatapan ini pula MPRS mengangkat pengemban ketetapan MPRS No. IX tahun 1966, Jenderal Soeharto, sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilu. Pada tanggal 12 maret 1967, Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan pelantikan Soeharto sebagai presiden tersebut, secara legal formal telah berakhir kekuasaan orde lama yang kemudian digantikan dengan orde baru.[3]

Referensi
[1] Admin,  “Kedekatan Presiden Soekarno-Presiden Soeharto (Antara Tudingan dan Realitas),” artikel diakses pada tanggal 15 Mei 2015 dari http://soeharto.co/kedekatan-presiden-soekarno-presiden-soeharto
[2] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), h. 598.
[3] Admin, “Saat-saat Jatuhnya Presiden Soekarno,” artikel diakses pada tanggal 15 Mei 2015 dari http://tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm


Selasa, 22 Maret 2016

Terbelahnya Islam di Masa Khalifah Rasyidah

Tidak dapat dipungkiri, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW umat Islam mengalami goncangan hebat dalam kancah pemerintahan. Pasalnya, Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan tahta dan sistem pemerintahan seperti apa yang harus dijalankan oleh umat Islam. Pengganti puncuk kepemimpinan pun tidak disebutkan, siapa yang akan mengantikan beliau nanti setelah beliau wafat. Sebenarnya, keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya merupakan usaha Rasulullah untuk mengenalkan konsep demokrasi, agar semua keputusan yang menyangkut umat diselesaikan dengan musyawarah.[1] Tetapi, bangsa Arab yang etnosentris, haus akan kekuasaan, menginginkan dari kelompok merekalah yang memipin umat Islam. Masa Khulafaur Rosyidin bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan.

Khulafaur Rasyidin

Sifat etnosentris dan haus kekuasaan menyebabkan perebutan dan saling klaim kekuasaan di kalangan umat Islam. Pemberontakan banyak terjadi. Perang saudara tak terelakkan. Tercatat dari periode khilafah rasyidah hanya 1 khalifah yang wafat karena sakit, lainnya wafat dalam keadaan dibunuh. Pada masa ini politik umat Islam sangatlah kental. Bahkan lahirnya aliran-aliran teologi Islam berawal dari masalah politik.[2] Tidak hanya itu, munculnya hadits-hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang muslim atau non-muslim karena didorong oleh motif politik.[3]

Benih-benih terbelahnya umat Islam mulai muncul di masa khalifah pertama Abu Bakar. Kelompok Syiah menentang terpilihnya Abu Bakar sebagai Khilafah, menurutnya kekhalifahan adalah warisan terhadap Ali dan kerabatnya, bukan kepada Abu Bakar. Perselisihan antara kaum Anshor dan Muhajirin dalam peristiwa tsaqibah bani sa’idah (perebutan pemimpin khalifah) juga turut mewarnai perpecahan intern umat Islam di masa pemerintahan Abu Bakar.

Setelah Abu Bakar Wafat, tampuk kekuasaan berpindah tangan ke Umar ibn Khattab. Umar ibn Khattab wafat ditikam oleh seorang pembunuh bayaran Abu Luluah. Pembunuhan tersebut dilakukan karena motif dendam terhadap bangsa Arab yang telah menaklukan bangsa Persia. Menurut Suaib alasan pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan pada bangsa persia dalam dirinya. Sebelum wafat, Umar telah memilih 6 formatur yang berhak untuk menentukan khalifah pengganti Umar. 6 formatur yang dikenal dengan sebutan dewan ahlul halli wal aqdi tersebut akhirnya sepakat memilih Utsman ibn Affan sebagai khalifah pengganti Umar. [4]

Terpilihnya Utsman sebagai Khilafah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan umat Islam. Pangkal permasalahannya adalah persaingan kesukuan antara bani Umayyah pendukung Utsman dan bani Hasyim pendukung Ali. Konflik antara bani Hasyim dan bani Umayyah sudah terjadi semenjak pra islam, berawal dari konflik perebutan kabbah lalu berakhir dengan pengusiran Umayyah dari kota Mekkah selama 20 tahun. Menurut bani Hasyim pemilihan Khalifah Utsman banyak ditemui kecurangan, dan sebenarnya Ali lah yang lebih pantas menjabat sebagai Khalifah pengganti Umar. Keberhasilan Utsman karena peran 5 tokoh yaitu Umar ibn Khattab, Abdur Rahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Thalhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam. Mereka semua masuk Islam secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar. Dengan demikian, apabila dewan itu dipetakan dapat ditemukan 2 kekuatan yang bersaing, yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro Utsman dengan poros Ali. Kini pengikut Syiah berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah merupakan taktik politik pro Utsman yang ingin agar Utsman menjadi Khalifah.[5] Konflik perpecahan umat Islam semakin meruncing di masa khalifah Utsman.

Nepotisme yang dilakukan oleh Utsman merupakan awal dari konflik perpecahan pada masa ini. Utsman bertindak sangat loyal kepada keluarganya bani Umayyah. Puncaknya, penduduk Mesir muak dengan perilaku kesewenangan gubernur Abdullah ibn Abi Sarah. Penduduk mesir mengusulkan gubernur diganti dengan Muhammad ibn Abu Bakar, tetapi Marwan ibn Hakam mengkhianati dan mengganti surat penyopotan dengan surat izin membunuh Muhammad ibn Abu Bakar. Massa mengamuk dan mengepung rumah Utsman menuntut pengunduran diri Utsman dan penyerahan Marwan. Pengepungan berakhir dengan terbunuhnya Utsman.[6] Bani umayyah menuntut agar pembunuh Utsman diusut tuntas. Sedangkan bani Hasyim pada waktu itu beramai-ramai membaiat Ali sebagai khalifah pengganti Utsman.

Pengangkatan ali sebagai khalifah ditentang oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah. Mu’awiyah beserta istri Nabi Aisyah, Thalhah dan Zubair menuntut agar Ali segera mengusut pembunuh Utsman. Namun Ali terkesan manarik ulur kasus tersebut. Akhirnya pecahlah perang jamal, perang pertama antara sesama umat Islam. Kebijaksanaan memecat beberapa pejabat tinggi juga menyebabkan dendam tersendiri di kalangan bani Umayyah. Ali mengirimkan pasukannya ke Damaskus untuk menertibkan pemberontakan Mu’awiyah. Maka pada bulan saffar 37 H meletuslah perang siffin antara Ali dengan Mu’awiyah. Perang ini diakhiri dengan abitrasi dari kedua belah pihak. Hasil perundingan tersebut adalah terpecahnya kekhalifahan Islam, Ali di timur dan Mu’awiyah di Barat. Kesepatan tersebut menyebabkan beberapa kelompok ali keluar dari barisan Ali. Kelompok ini disebut Khawarij, mereka berpendapat bahwa Mu’awiyah tidak berhak atas kepemimpinan umat Islam dan menganggap ali telah kafir karena mau melakukan abitarse. Akibat peristiwa ini umat Islam mulai terpecah menjadi 3 kekuatan politik, yaitu pengikut Ali (syiah) bani Hasyim, pengikut Mu’awiyah (sunni) bani Umayyah dan Khawarij.[7] Ali terbunuh oleh Abdur Rahman ibn Muljam dari golongan Khawarij. Maka dengan ini berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin.

Kesimpulan yang dapat dipetik adalah terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan adalah akibat dari rakusnya bangsa Arab atas kekuasaan. Umat Islam terbagi menjadi beberapa sekte hanya karena soal politik. Paham kesukuan yang menjangkiti orang Arab turut menambah daftar panjang peliknya perpecahan. Konflik panjang antara bani Hasyim dengan bani Umayyah juga merupakan pangkal dari benih pertikaian antar sesama umat Islam. Untuk itu, patutlah umat Islam era ini untuk bercermin dari sejarah masa lalu agar tidak kembali mengulang pertikaian atau menambah daftar nama kelompok umat Islam. Islam itu hanya satu, yaitu Islam yang berpedoman kepada Al-qur’an dan sunnah Nabi. Tidak ada pembaruan dalam Islam. Apalagi Islam yang terakulturasi dengan ritul-ritul kesukuan.


Referensi

[1] Dr. Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), h. 35.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia, 1972), h. 6.
[3] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gunung Persada Press, 2008), h. 184.
[4] Achmad Syalalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1997), h. 267.
[5] Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam (Jakarta: Mizan,1989), h. 119-120
[6] Hardi Darjoto, “Syiah: Sejarah Perpecahan Umat,” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari kompasiana.com/post/read/584776/2/syiah-sejarah-perpecahan-umat.html
[7] Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, h. 41.
luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com