Selasa, 26 April 2016

Teori dalam Penelitian

BAB I
Pendahuluan

I. Latar Belakang

Dalam sebuah penilitian pastilah mempunyai sesuatu masalah. Masalah tersebut merupakan obyek yang akan diteliti guna mendapatkan suatu konklusi atau hasil penelitian. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari suatu yang diteliti maka digunakanlah teori. Teori tersebut berguna untuk menguraikan dan mencari akar masalah dari suatu masalah yang sedang diteliti. Jadi teori sangan vital sekali kegunaannya dalam sebuah penelitian.

Teori Evolusi
Tanpa teori sebuah penelitian tidak akan memiliki ruh, karena penelitian tersebut tidak menggunakan dasar-dasar ilmiah, terkesan hanya menebak-nebak saja. Selain itu teori juga berfungsi untuk menyempitkan ruang penelitian agar tidak melebar kemana-mana. Di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang what and how dari sebuah teori dalam suatu penelitian.

II. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari teori?
2. Apa fungsi teori dalam penelitian?
3. Apa itu konsep?
4. Apa saja variabel-variabel dalam penelitian?

III. Tujuan
I. Untuk mengetahui lebih jelas tentang teori dan pembagiannya
2. Untuk mengetahui fungsi-fungsi teori dan peranannya
3. Untuk mengetahui variabel-variabel dan konsep dalam peneilitian

BAB II
Pembahasan

IV. Pengertian Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antarkonsep.[1] Teori menunjukkan hubungan antara fakta-fakta. Teori menyusun fakta-fakta dalam bentuk yang sistematis sehingga dapat dipahami.[2] Menurut Kerlinger teori adalah serangkaian bagian (variabel), definisi dan dalil yang saling berhubungan yang dihadirkan dalam sebuah pandangan sistematis tentang fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.

Bentuk teori dapat berupa serangkaian hipotesa, pernyataan logis “jika…maka”, atau model visual. Bentuk presentasi teori menunjukkan urutan sebab musabab variabel-variabel. Hopkins menyajikan teorinya sebagai serangkaian hipotesa. Para ahli ilmu pengetahuan secara sistematis membangun teori dan mengetesnya untuk mengetahui internal konsistensi dan aspek-aspek subjektifnya dengan data-data empiris.[3] Menurut Kinayati Djojosuroto & M.L.A. Sumaryati, teori digolongkan kepada empat macam, yaitu asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi.

1) Asumsi
Asumsi adalah suatu anggapan dasar tentang realita, harus diverifikasi secara empiris.[4] Dalam penelitian ilmu sosial, setidaknya kita mengenal dua pendekatan yang memengaruhi proses penelitian, mulai dari merumuskan permasalahan hingga mengambil kesimpulan. Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar yang ada di dalam pendekatan kuantitatif bertolak belakang dengan asumsi dasar yang dikembangkan di dalam pendekatan kualitatif. Asumsi dasar inilah yang memengaruhi pada perbedaan dari cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan.

2. Konsep
Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu.[5] Bailey menyebutkan sebagai persepsi (mental Image) atau abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal khusus. Setiap penelitian kuantitatif dimulai dengan menjelaskan konsep penelitian yang digunakan, karena konsep penelitian ini merupakan kerangka acuan peneliti di dalam mendesain instrument penelitian.

Konsep juga dibangun dengan maksud agar masyarakat akademik atau masyarakat ilmiah maupun konsumen penelitian atau pembaca laporan penelitian memahami apa yang dimaksud dengan pengertian variable, indikator, parameter, maupun skala pengukuran yang dimaksud penelitiannya kali ini. Lebih konkrit, konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena yang sama.[6] Dalam membangun konsep ada dua desain yang perlu diperhatikan, yaitu generalisasi dan abstraksi. Generalisasi adalah proses bagaimana memperoleh prinsip dari berbagai pengalaman yang berasal dari literatur dan empiris. Abstraksi yaitu cakupan ciri-ciri umum yang khas dari fenomena yang dibicarakan.

3. Konstruk
Konstruk adalah konsep yang ciri-cirinya dapat diamati langsung seperti pemecahan masalah. Konsep seperti ini lebih tinggi tarafnya daripada abstraksi yang ciri-cirinya dapat diamati langsung. Jadi konstruk adalah konsep sedangkan tidak semua konstruk adalah konsep.[7] Menjadikan konstruk yang dapat kita ukur disebut operasionalisasi. Kata kerjanya mengoperasionalisasikan.

4. Proposisi
Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep. Suatu pernyataan yang menjelaskan kebenaran atau menyatakan perbedaan atau
hubungan antara beberapa konsep. Ada dua macam proposisi, yaitu Hipotetis dan Tesis. Hipotesis adalah proposisi yang dirumuskan untuk diuji kebenarannya secara empirik sedangkan Tesis adalah proposisi yang memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan yang telah dibenarkan oleh suatu pengujian secara empirik dan cermat.

V.  Fungsi teori dalam penelitian

Menurut Snelbecker ada tiga fungsi teori dalam penelitian. Pertama, sebagai pensistematiskan temuan-temuan penelitian. Kedua, sebagai pendorong untuk menyusun hipotesis. Dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban serta membuat ramalan-ramalan atas dasar penemuan. Ketiga, sebagai penyaji penjelasan dalam menjawab pertanyaan. [8] Jika dijabarkan ada 6 fungsi teori dalam penelitian yaitu:
1. Sebagai penyusun generalisasi atas fakta-fakta
2. Menjadi kerangka orientasi untuk pengumpulan, pengolahan, dan analisa data
3. Pembuat prediksi terhadap fenomena baru yang akan terjadi
4. Pengawas lowongan dalam pengetahuan dengan cara deduksi
5. Sebagai rujukan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian
6. Sebagai kerangka penalaran logis

VI. Pengertian Konsep
Penelitian bekerja dari tahap konsepsional ke tahap operasional. Menurut Kerlinger konsep adalah abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal yang khusus. Oleh karena konsep merupakan abstraksi maka konsep tidak dapat langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati atau diukur melalui konstruk atau yang lebih dikenal dengan nama variabel. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang menunjukkan nilai atau bilangan dari konsep. Variabel adalah sesuatu yang bervariasi.

VII. Variabel
Sebagian besar para ahli mendefinisikan variabel penelitian sebagai kondisi-kondisi yang oleh peneliti dimanipulasikan, dikontrol, atau diobservasikan dalam suatu penelitian. Selain itu, beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan penelitian. Dari dua pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa variabel penelitian meliputi faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang diteliti. Variabel penelitian ditentukan oleh landasan teoritisnya dan kejelasannya ditegaskan oleh hipotesis penelitian. Oleh karena itu, apabila landasan teoritis suatu penelitian berbeda, akan berbeda pula variabelnya.

Variabel-variabel yang ingin digunakan perlu ditetapkan, diidentifikasi, dan diklasifikasikan. Jumlah variabel yang digunakan bergantung pada luas serta sempitnya panelitian yang akan digunakan. Dalam ilmu-ilmu eksakta, variabel-variabel yang digunakan umumnya mudah diketahui karena dapat dilihat dan divisualisasikan. Tetapi, variabel-variabe dalam ilmu sosial, sifanya lebih abstrak sehingga sukar dijamah secara realita. Variabel-variabel ilmu sosial berasal dari suatu konsep yang perlu diperjelas dan diubah bentuknya sehingga dapat diukur dan dipergunakan secara operasional. Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

A. Jenis-jenis Variabel
Pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu Variabel kualitatif dan Variabel kuantitatif.
1. Variabel kualitatif
Jika karakter yang dipejari non numerik, karakter tersebut disebut variabel kualitatif (qualitative variabel) atau sebuah atribut (attribute). Variabel kualitatif disebut juga variabel kategorik yang digunakan untuk kategorisasi. Kategori ada yang dikotomis dan politomi. Contohnya: 1. Gender, 2. Afiliasi agama, 3. Jenis mobil yang dimiliki.

2. Variabel kuantitatif
Disebut variabel kuantitatif jika variabel yang dipelajari bersifat numerik. Contoh variabel numerik adalah jumlah uang tabungan, besarnya hutang, besarnya pengeluaran, umur, nilai. Variabel kuantitatif dapat bersifat diskret ataupun kontinyu. Variabel kontinyu adalah vqariabel yang secara teoritis dapat mempunyai nilai yang bergerak tak terbatas antara 2 nilai. Tinggi orang boleh jadi 1,5 meter, 1,53 meter, 1, 48 meter dan seterusnya tergantung pada pencermatan pengukuran.

Variabel diskret hanya mempunyai 1 nilai tertentu saja. Jumlah anak yang dimiliki adalah variabel diskret yang mempunyai nilai 1, 2, 3, 4, dan seterusnya dan tak mungkin 1,5; 1,37; atau 2,5 karena dalam variabel diskret tidak ada nilai pecahan.[9]

Dalam pembuatan rancangan pelaksanaan penelitian, biasanya hanya memuat satu, dua, atau paling tiga dari jenis variabel di bawah ini:
1. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab atau berubahnya variabel lain (variabel dependen). Juga sering disebut dengan variabel bebas, prediktor, stimulus, eksougen atau antesendent yang sedang dianalisis hubunganya atau pengaruhnya terhadap variabel terikat. Variabel independen biasa disimbolkan dengan variabel (X). Variabel bebas adalah sebab yang dipandang sebagai sebab kemunculan variabel terikat (Y) yang dipandang (atau diduga) sebagai akibatnya.[10] Contoh variabel bebas: Kondisi pemukiman kumuh (Slum), keluarga retak, keluarga kasih sayang orang tua.

2. Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel lain (variabel bebas). Juga sering disebut variabel terikat, variabel respons atau endogen. Variabel inilah yang sebaiknya dikupas secara mendalam pada latar belakang penelitian. Berikan porsi yang lebih dalam membahas variabel terikat daripada variabel bebasnya karena merupakan implikasi dari hasil penelitian. Variabel dependen biasanya disimbolkan dengan (Y).[11] Contoh variabel terikat adalah kelas sosial, metode pengajaran, tipe kpribadian, tipe motivasi. Antara variabel Independent dan Dependent, masing-masing tidak berdiri sendiri tetapi selalu berpasangan, contoh:
Kepemimpinan dan produktivitas kerja
Kepemimpinan                  = Variabel Independent
Produktivitas kerja            = Variabel Dependent

3.  Variabel Moderating
Variabel moderating adalah variabel yang memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Variabel moderating juga sering disebut sebagai variabel bebas kedua dan sering dipergunakan dalam analisis regresi linear atau pada structural equation modelling. Sebagai contoh, hubungan antara pipa PVC (Polyvinyl Chloride) atau Pralon dengan knee (pipa berbentuk belokan). Pipa PVC akan lekat dengan knee dengan menggunakan lem khusus PVC. Jadi, lem khusus PVC adalah variabel moderating yang memperkuat. Atau, lem kayu tidak dapat digunakan untuk mengelem pipa PVC dengan knee. Jadi lem kayu adalah variabel moderating yang memperlemah.

4. Variabel Intervening
Variabel intervening adalah variabel yang menjadi media pada suatu hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sebagai contoh, prestasi kerja pengaruh ibu terhadap ayah akan semakin kuat setelah berkeluarga. Jadi, keluarga merupakan media bagi ibu dalam pengaruhnya terhadap ayah.

5. Variabel Kontrol
Variabel kontrol adalah variabel kecepatan menulis murid–murid suatu sekolah, yang diukur dan dibandingkan kecepatan menulis sekolah lain. Semua jenis variabel di atas merupakan statis, yang berarti tidak berubah selama proses penelitian berlangsung. Sebenarnya ada lagi istilah yang lain, yaitu variabel dinamis. Variabel dinamis biasanya dipergunakan dalam penelitian kualitatif.

Dilihat dari jenis pengukuran dan urutannya, variabel dapat dibedakan menjadi 3 jenis: nominal, ordinal, dan interval.[12]
1. Variabel nominal
Variabel nominal adalah variabel dimana tidak ada keharusan mengurutkan kategorinya. Peubahan penyusunan kategori variabel nominal tidak membawa perubahan makna yang berarti. Sebagai contoh, warga negara Indonesia dilihat dari sudut agama, penyusunan kategorinya dapat memenuhi berbagai cara:
Agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha
Atau bisa juga seperti dibawah ini:
Agama Hindu, Katolik, Protestan, Budha, dan seterusnya.

2. Variabel ordinal
Variabel ordinal adalah variabel dimana kategorinya dapat diurutkan. Namun demikian, jarak antara satu kategori dengan kategori sesudah atau sebelumnya tidak sama sebagaimana halnya pada variabel interval. Misalnya sejumlah orang islam ditanya tetang sholat tahajud mereka, maka urutan kategori variabel tersebut sebagai berikut:
Ibadah sholat tahajud                   
a. selalu
b. sering
c. kadang-kadang
d. jarang
e. tidak pernah

3. Variabel interval
Variabel interval adalah variabel yang kategorinya dapat diurutkan dan jarak antara satu kategori dengan kategori berikutnya dapat dihitung dengan tepat. Sebagai contoh sejumlah mahasiswa dilihat dari sudut IPK nya.
IPK
a. 3,01 – 4,00
b. 2,01 – 3,00
c. 1,01 – 2,00
d. 0,01 – 1,00

BAB III
Kesimpulan

VIII. Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan dan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antarkonsep.
2. Teori dapat digolongkan kepada empat macam, yaitu asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi.
3. Ada tiga fungsi teori dalam penelitian. Pertama, sebagai pensistematiskan temuan-temuan penelitian. Kedua, sebagai pendorong untuk menyusun hipotesis. Dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban serta membuat ramalan-ramalan atas dasar penemuan. Ketiga, sebagai penyaji penjelasan dalam menjawab pertanyaan.
4. konsep adalah abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal yang khusus.
5. Variabel penelitian adalah kondisi-kondisi yang oleh peneliti dimanipulasikan, dikontrol, atau diobservasikan ke dalam suatu penelitian.
6. Pada dasarnya ada 2 jenis variabel, yaitu Variabel kualitatif dan Variabel kuantitatif.
7. Variabel biasanya hanya memuat satu, dua, atau paling tiga dari jenis dari Variabel Independen, Variabel Dependen,  Variabel Moderating, Variabel Intervening dan Variabel Kontrol.
8. Dilihat dari jenis pengukuran dan urutannya, variabel dapat dibedakan menjadi 3 jenis: nominal, ordinal, dan interval.

Referensi
[1]  Kinayati Djojosuroto & M.L.A Sumaryati, Prinsip-Prinsip Penelitian Bahasa & Sastra (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), h. 17.
[2] S. Nasution, Metode Research, Penelitian Ilmiah (Bandung: Jemmars, 1991), h. 4.
[3] Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 36.
[4] Kinayati Djojosuroto & M.L.A Sumaryati, Prinsip-Prinsip Penelitian Bahasa & Sastra, h. 20.
[5] M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), h. 17.
[6] M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Jakarta: Kencana, 2008), h. 57.
[7] Kinayati Djojosuroto & M.L.A Sumaryati, Prinsip-Prinsip Penelitian Bahasa & Sastra, h. 18-19.
[8] Sardar Ziauddin, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Mizan, 1996), h. 86.
[9] Nuraida Halid Alkaf, Metode Penelitian Pendidikan (Ciputat: Islamic Research Publishing, 2009), h. 76.
[10] Ibid., h. 79.
[11] Ibid., h. 80.
[12] Hadeli, Metode Penelitian Kependidikan (Ciputat: Ciputat Press, 2006), h. 31-33.

Selasa, 12 April 2016

Konsep dan Pengertian; Dasar-Dasar Logika

Abstrak
Manusia adalah mahkluk berpikir. Tak ada yang bisa menyangkalnya. Berpikir itulah yang menyebabkan manusia berbeda dari mahluk yang lainnya. Dalam berpikir manusia memerlukan konsep. Melalui konsep manusia lalu menerjemahkannya lewat kata. Dari kata tersebut lalu dirangkai menjadi suatu kumpulan kalimat. Rangkaian kalimat tersbut disebut preposisi. Kumpulan kalimat-kalimat bisa diucapkan lewat lisan. Orang mengenalnya dengan sebutan bahasa. Jadi, bila orang berbicara dengan kata-kata, maka orang berpikir dengan menggunakan konsep atau pengertian-pengertian. Tata cara berpikir seperti itu disebut sebagai logika. Berpikir dengan jelas dan tepat menuntut pemakaian kata-kata yang tepat. Orang tidak dapat berbicara dengan baik kalau tidak mempunyai kata-kata. Demikian juga orang tidak dapat berpikir dengan tepat tanpa pengertian-pengertian. Mengerti suatu barang berarti menangkap seperti apa barang itu atau macam apa barang itu. Dengan mengerti sesuatu tentang apa yang dipikir atau obyek yang dipikir berarti kita sudah menggunakan konsep berpikir.

Keyword: Logika, Konsep, kata

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Sejak filsuf Yunani, Thales (624 SM-548 SM) mengatakan bahwa air adalah arkhe. Logika mulai dikembangkan dikalangan para filsuf. Apalagi setelah Aristoteles mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Kaum Sofis  beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang logika. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara khusus meneliti berbagai macam argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya.


Pada 370 SM-288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM-226 SM pelopor Kaum Stoa. Dari sini logika mulai berkembang menjadi bidang studi tersendiri. Para ilmuwan dan filsuf mulai beramai-ramai menerbitkan karya-karya yang terkait dengan ilmu logika, seperti buku-buku Aristoteles; De Interpretatione, Eisagoge karya Porphyus, karya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding. Penggunaan logika ini penting untuk mengetahui suatu keabsahan dan kebenaran dari suatu permasalahan. Sampai saat ini logika sudah menjadi salah satu pelajaran wajib yang harus dipelajari di pergurun tinggi.
Manusia adalah makhluk hidup. Lantas yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lainnya, semisal hewan adalah cara berpikirnya. Manusia adalah makhluk hidup yang bisa berpikir. Manusia dalam berpikir membutuhkan konsep untuk menuangkan apa yang dipikirkan. Konsep tersebut dinyatakan dalam kata-kata. Konsep penting guna mendukung proses berpikir. Dalam makalah ini tidak dibahas secara mendetail apa itu logika, bagaimana sejarah logika berkembang sampai saat ini, apa fungsi logika, tetapi akan mengurai salah satu pokok bahasan dalam ilmu logika, yaitu konsep dan pengertian. Untuk itu dalam makalah ini hanya akan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep dan pengertian.

II. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsep dan pengertian?
2. Apa yang dimaksud dengan dilalah?
3. Apa yang dimaksud dengan kata?
4. Apa yang dimaksud dengan makna dan arti?

III. Tujuan
1. Mengetahui tentang konsep dan pengertian dalam logika
2. Memahami konsep-konsep dilalah dalam ilmu mantiq
3. Mengetahui arti dan pembagian kata
4. Mengetahui pengertian makna dan arti


BAB II
PEMBAHASAN

IV. Pengertian Konsep

Pengertian adalah suatu gambaran akal budi yang abstrak, yang batiniah, tentang sesuatu.[1] Gambaran akal budi yang abstrak, yang batiniah, tentang sesuatu sebagaimana dimaksudkan di atas disebut juga konsep. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konsep didefinisikan sebagai: 1) Rancangan atau buram surat dsb., 2) Ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret, 3) Gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.[2] Dengan demikian pengertian identik dengan konsep sebagai hasil pekerjaan akal budi yang selalu menangkap dan membentuk sesuatu gambaran. Pengertian berada dalam wilayah akal budi atau pikiran sementara konsep berada dalam wilayah kebahasaan. Perhatikan gambar di bawah ini.



Kata Kursi ialah konsep. Sebelum menjadi konsep kata kursi merupakan pengertian yang dibentuk oleh akal budi atau pikiran. Selanjutnya dengan kata kursi itu kita dapat berpikir atau berbicara hal ihwal mengenai kursi tanpa harus menghadirkan benda kongkret yang bernama kursi karena kursi itu telah ada di dalam akal budi atau pikiran. Kehadiran kursi di dalam akal budi atau pikiran ialah karena panca indera menangkap benda kongkret yang kemudian diberi nama kursi. Lalu akal budi atau pikiran memberinya pengertian dan mengungkapkannya melalui bahasa dengan konsep kursi atau gagasan lainnya.

Isi pengertian ialah semua unsur yang termuat di dalam pengertian itu.[3] Contoh: Mahasiswa UIN Jakarta. Apabila kalimat itu diuraikan maka akan terdiri dari unsur-unsur mahasiswa dan UIN Jakarta. Kata mahasiswa terdiri dari unsur: manusia-dewasa-yang melanjutkan pendidikan-di sekolah tinggi-yang bernama UIN Jakarta-yang terletak di Cilacap-Kabupaten Tangerang. Demikan juga dengan kata UIN Jakarta, apabila kata itu diurai maka di dalamnya akan terdapat sejumlah unsur yang memuat isi pengertian yang relevan.

Pengertian selain memiliki isi seperti terurai di atas, juga memiliki makna luas. Artinya tiap-tiap pengertian memiliki lingkup dan lingkungannya sendiri. Lingkup dan lingkungan itu berisikan semua barang atau hal yang dapat ditunjuk atau disebut dengan pengertian atau kata itu.[4] Misalnya pengertian Mahasiswa UIN Jakarta mencakup semua mahasiswa baik yang ada di jurusan Ilmu Politik atau Sosiologi, perempuan atau laki-laki, kurus atau gemuk, tak ada yang dikecualikan. Mahasiswa selain dari Mahasiswa UIN Jakarta semua itu di luar lingkup dan lingkungan pengertian Mahasiswa UIN Jakarta. Dengan demikian luas pengertian adalah barang-barang atau lingkungan realitas yang ditunjuk dengan pengertian atau kata tertentu.[5]

V. Dilalah
Dilalah dari segi bahasa berasal dari bahasa arab, yakni daala-yadulu-dilalah yang artinya petunjuk atau yang menunjukan. Dalam logika (ilmu mantiq) berarti, satu pemahaman yang dihasilkan dari sesuatu atau hal yang lain, seperti adanya asap di balik bukit, berarti ada api dibawahnya. Dalam hal ini api disebut madlul (yang ditunjuk atau yang diterangkan), sedangkan asap disebut dal atau dalil (yang menunjukan atau petunjuk).[6]

Dilalah adalah memahami sesuatu dari sesuatu yang lain, sesuatu yang pertama disebut Al-madhul. dan segala sesuatu yang kedua disebut Al-dall (petunjuk, penerang atau yang memberi dalil).[7] Contoh: Terdengar raungan harimau di semak-semak, dilalah bagi adanya harimau di dalam semak tersebut. Dilalah terbagi atas 3 bagian, yaitu:
1. Dilalah Lafzhiyah
    Dilalah lafzhiyah adalah Petunjuk yang berupa kata atau suara. Dilalah ini terbagi menjadi tiga:
A. Dilalah Lafzhiyah Thab’iyah, yaitu dilalah petunjuk yang berbentuk alami
Contoh:
(a)  Tertawa terbahak-bahak menjadi dilalah untuk gembira.
(b)  Menangis terisak-isak menjadi dilalah bagi sedih.

B. Dilalah Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang dibentuk akal pikiran
Contoh:
(a)  Suara teriakan di tengah hutan menjadi dilalah bagi adanya manusia di sana.
(b)  Suara teriakan ‘Maling’ di sebuah rumah menjadi dilalah bagi adanya maling yang sedang melakukan pencurian.

C. Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarat atau tanda (apa saja) berdasarkan kesepakatan.
Contoh:
(a)  Petunjuk lafadz (kata) kepada makna (benda) yang disepakati:
(b)  Orang Sunda, misalnya sepakat menetapkan kata Cau menjadi dilalah bagi Pisang.
(c)  Orang Jawa, misalnya sepakat menetapkan kata Gedang menjadi dilalah bagi Pisang.
(d) Orang Inggris, misalnya sepakat menetapkan kata Banana menjadi dilalah bagi Pisang.

2. Dilalah Ghairu Lafzhiyah
Dilalah ghairu lafzhiyah adalah petunjuk yang tidak berbentuk kata atau suara. Dilalah ini terbagi tiga:
A. Dilalah Ghairu Lafzhiyah Thabi’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara yang berupa sifat alami.
Contoh:
(a)  Wajah cerah menjadi dilalah bagi hati yang senang.
(b)  Menutup hidung menjadi dilalah bagi menghindarkan bau kentut dan sebagainya.
Maksudnya, yang menentukan demikian itu adalah bukan akal tetapi tabiat memang demikian.

B. Dilalah Ghairu Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara yang berupa pemahaman melalui akal pikiran.
Contoh:
(a)  Hilangnya barang-barang di rumah menjadi dilalah adanya pencuri yang mengambil.
(b)  Terjadinya kebakaran di gunung menjadi dilalah bagi adanya orang yang membawa api ke sana.

C. Dilalah Ghairu Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) bukan berupa kata atau suara yang dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarat atau tanda (apa saja) berdasarkan kesepakatan.
Contoh:
(a) Secarik kain hitam yang diletakkan di lengan kiri orang Cina adalah dilalah bagi kesedihan/duka cita, karena ada anggota keluarganya yang meninggal.
(b) Bendera kuning dipasang di depan rumah orang Indonesia pada umumnya, menggambarkan adanya keluarga yang meninggal.

3.  Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah
Adapun Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah menjadi ajang pembahasan para pakar mantiq. Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah dibagi menjadi tiga:
A.  Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Muthabaqiyah, yaitu dilalah lafadz (petunjuk kata) pada makna selengkapnya.
Contoh:
Kata rumah memberi petunjuk (Dilalah) kepada bangunan lengkap yang terdiri dari dinding, jendela, pintu, atap dan lainnya, sehingga bisa dijadikan tempat tinggal yang nyaman. Jika anda menyuruh seorang tukang membuat rumah, maka yang dimaksudkan adalah rumah selengkapnya, bukan hanya dindingnya atau atapnya saja.

B. Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Tadhammuniyah, yaitu dilalah lafadz (petunjuk kata) kepada bagian-bagian maknanya.
Contoh:
(a) Jika anda, misalnya menyuruh tukang memperbaiki rumah maka yang anda maksudkan bukanlah seluruh rumah, tetapi bagian-bagiannya yang rusak saja.
(b) Jika anda meminta dokter mengobati badan anda, maka yang dimaksudkan adalah bagian yang sakit saja.
C. Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Iltizamiyah, yaitu dilalah lafadz (petunjuk kata) kepada sesuatu yang di luar makna lafadz yang disebutkan, tetapi terikat amat erat terhadap makna yang dikandungnya.
Contoh:
Jika anda menyuruh tukang memperbaiki asbes rumah anda yang runtuh, maka yang anda maksudkan bukan asbes-asbesnya saja, tetapi juga kayu-kayu tempat asbes itu melekat yang kebetulan sudah patah-patah. asbes dan kayu yang menjadi tulangnya terkait amat erat (Iltizam). Jika kerusakan asbes itu disebabkan kebocoran di atap maka perbaikan atap iltizam (menjadi keharusan yang terkandung dan terikat) kepada perintah memperbaiki asbes loteng itu.

VI. Kata
Pengertian adalah sesuatu yang abstrak. Untuk menunjukkan sebuah pengertian dipergunakan  bahasa. Di dalam bahasa pengertian diurai dengan kata. Dengan demikian kata adalah tanda lahir atau pernyataan dari pengertian.[8]

Kata menurut artinya dapat dibagi ke dalam bentuk-bentuk kata sebagai berikut:
1. Univok(al) (sama suara, sama artinya)
Artinya, kata yang menunjukkan pengertian yang sama antara suara dan arti. Contoh, kata Mahasiswa hanya menunjukkan pengertian yang dinyatakan oleh kata itu saja. Kata univokal merupakan kata yang dipergunakan dalam pemikiran dan ilmu pengetahuan seperti diskusi ilmiah dan karya tulis ilmiah.
2. Ekuivok(al) (sama suara, tetapi tidak sama artinya)
Sebuah kata yang menunjukkan pengertian yang berbeda atau berlainan. Kata bisa misalnya dapat berarti ‘mampu’ atau ‘racun yang dikeluarkan oleh ular. Kata-kata ekuivokal baik untuk lelucon tetapi tidak baik untuk diskusi dan karya ilmiah. Dunia politik dan propaganda lazim menggunakan kata-kata yang ekuivok.
3. Analogis (sama suara, memiliki kesamaan dan juga  perbedaan arti)
Misalnya, sehat sebenarnya dikatakan tentang orang, khususnya badannya, tetapi juga dapat dikatakan tentang jiwanya, tentang obat (karena dapat menyembuhkan ganguan-ganguan kesehatan), tentang makanan (karena berguna untuk memelihara kesehatan), tentang hawa (karena baik untuk kesehatan), dan sebagainya.   

Kata juga dapat dibagi menurut isinya. Kata-kata dalam konteks pembagian ini ialah:
1. Abstrak, yang menunjukkan suatu bentuk atau sifat tanpa bendanya (misalnya, kemanusiaan, keindahan) dan konkret, yang menunjukkan suatu benda dengan bentuk atau sifatnya (misalnya, manusia)
2. Kolektif, yang menunjukkan suatu kelompok (misalnya, tentara) dan individual yang menunjukkan suatu individu saja (misalnya, Narto sama dengan nama seorang anggota tentara). Sehubungan dengan ini perlu dicatat: apa yang dapat dikatakan tentang seluruh kelompok, belum tentu dapat dikatakan pula tentang setiap anggota kelompok. Demikian pula sebaliknya
3. Sederhana, yang terdiri dari satu ciri saja (misalnya, kata ada yang tidak dapat diuraikan lagi) dan jamak, yang terdiri dari beberapa atau banyak ciri (misalnya, kata manusia, yang dapat diuraikan menjadi makhluk dan berbudi)

Selanjutnya, kata juga dapat dibagi ke dalam  apa yang disebut dengan nilai rasa, dan kata-kata emosional. Yang dimaksud nilai rasa ialah kata dengan nilai-nilai tertentu dengan maksud menyatakan sikap dan atau perasaan terhadap kenyataan objektif. Dengan demikian sikap dan perasaan tertentu sangat menentukan nilai rasa kata yang tertentu pula. Sikap dan perasaan  senang terhadap kenyataan objektif akan menentukan pilihan kata yang selaras dengan sikap dan perasaan itu. Demikian juga sebaliknya. Panggilan dengan kata ‘Anda’ berbeda dengan, Tuan, berbeda pula dengan kata Lu. Dalam hubungan inilah perlu diperhatikan supaya pemakaian kata-kata itu tepat. Yakni, untuk setiap situasi diperlukan pilihan kata dengan nilai rasa kata yang cocok, sesuai, dengan nilai rasa kata yang hendak dinyatakan. Untuk kepentingan ilmiah misalnya, pilihan kata harus menyatakan nilai rasa kata yang ilmiah pula yang tidak termuat didalamnya nilai rasa kata suka (like) dan tidak suka (dislike).

Kata-kata emosional ialah kata-kata yang dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan tertentu terhadap kenyataan objektif tetentu. Kata-kata itu misalnya kata untuk mengungkapkan kebencian, pengutukan, kecintaan, atau pemujaan, dan dukungan. Pilihan kata yang selaras dengan pengungkapan perasaan itu menimbulkan perasaan tertentu bagi yang mendengarnya.   

Pilihan kata demikian tidak lahir dari akal pikiran sehingga tidak mengajak untuk berpikir. Bahkan kata itu pada gilirannya mampu menghambat pemikiran, mengacaukan jalan pikiran, dan memustahilkan berfikir secara jernih, objektif, karena menutup mata terhadap realitas. Dalam konteks inilah, misalnya, seorang politisi mencerca lawan politiknya. Dalam konteks ini pula para pengiklan mengklaim produknya bermutu disbanding produk lain yang sejenis. Kata-kata emosional lazim digunakan dalam dunia perpolitikan dan dunia periklanan.

VII. Makna dan Arti

Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. Maksud pembicara
2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia
3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya
4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa
   
Bloomfied mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari pengertian para ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.

Umumnya orang menanggap bahwa arti dan makna itu adalah sama. Padahal tidak demikian. Kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Arti adalah denotasi. Sedangkan makna adalah konotasi. Kadang-kadang makna itu selaras dengan arti dan kadang tidak selaras. Apabila makna sesuatu itu sama dengan arti sesuatu itu, maka makna tersebut disebut Makna Laras (Explicit Meaning). Apabila maknanya tidak selaras dengan arti, maka sesuatu itu disebut memiliki Makna Kandungan (Implicit Meaning) atau Makna Lazim (Necessary Meaning).   

Sebagai contoh kata Sapi, ia memiliki arti dan makna. Sapi sudah memiliki arti sebelum kata tersebut dimasukan ke dalam kalimat, tapi ia belum memiliki makna, karena makna hanya akan terbentuk apabila kata itu sudah dimasukan ke dalam kalimat.
Contoh :
1. Pak kyai membeli sapi
2. Pak kyai memukul sapi
3. Pak kyai menarik sapi
   
Sapi pada Kalimat no. 1 itu memiliki makna yang sama dengan artinya, yaitu sapi. Pengertian yang menyeluruh tentang sapi tersebut itulah yang disebut Makna Laras (Explicit Meaning). Ketika Pak kyai membeli sapi, tentu yang dibeli adalah keseluruhan tubuh sapi itu, mulai dari kepala, kaki hingga ekornya. Oleh karena itu, makna Sapi dalam kalimat tersebut adalah sama dengan arti Sapi, sehingga disebut memiliki Makna Laras.
   
Berbeda halnya dengan kalimat No.2. yang dipukul oleh Pak kyai adalah sebagian dari tubuh sapi itu, mungkin pantatnya, mungkin kakinya saja, atau mungkin kepalanya saja. Oleh karena itu Sapi dalam kalimat No.2 tersebut tidak selaras dengan artinya, melainkan hanya kandungan dari arti tersebut. Oleh karna itu Sapi dalam kalimat No.2 tersebut disebut memiliki Makna Kandungan (Implicit Meaning).

Adapun kata Sapi dalam kalimat No.3 adalah memiliki Makna Lazim (Necessary Meaning). Karena ketika Pak kyai menarik sapi, sebenarnya yang dipegang adalah talinya. Dia menarik tali itu, tidak secara langsung menarik tubuh sapi. Kendatipun yang Pak kyai pegang dan dia tarik secara lansung adalah tali kendali sapi dan bukan sapinya secara langsung, tetapi sudah lazim dikatakan bahwa bahwa hal itu disebut menarik sapi. Itulah mengapa disebut Makna Lazim.

Referensi
[1] Alex lanur, Logika Selayang Pandang (Jogjakarta: Kanisius, 1983), h. 14.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 456.
[3] Poespoprodjo dan EK. T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar.Dasar-dasar Berpikir Tertib, Logis,Kritis, Dialektis (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 49.
[4] Ibid., h. 54.
[5] Ibid.,
[6] Basiq Djalil, Ilmu Logika (Jakarta: Kencana, 2010), h.5.
[7] Baihaqi,  Ilmu Mantiq Teknik Dasar Berpikir Logika (T.tp: Darul Ulum Press, t.t.), h. 12.
[8] Ibid., h. 50.


Selasa, 22 Maret 2016

Pemikiran Calvin (Calvinisme)

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang 
Gerakan reformasi gereja setidaknya telah melahirkan suatu peradaban dan paradigma baru bagi dunia Barat. Barat yang semulanya terkontrol di bawah satu komando Vatikan, kini sudah mampu berdikari untuk mengurusi segala administrasi dan kebijakan negara tanpa intervensi gereja. Banyak pakar yang menganggap fenomena reformasi gereja merupakan bentuk renaissance jilid dua setelah revolusi industri. Tumbuh suburnya kapitalisme, rasionalisasi akal, dan terbentuknya negara bangsa di Barat tidak bisa dipisahkan dari gerakan reformasi gereja.

John Calvin

Salah satu pengusung gerakan reformasi gereja adalah John Calvin dengan ajaran calvinisme nya. Calvin telah meletakkan dasar-dasar teologis, filosofis, dan intelektual yang kokoh bagi keberhasilan gerakan reformasi Protestan di Eropa. Ia merupakan salah satu fondasi doktrinal yang penting bagi kemajuan peradaban kapitalis Eropa di abad modern.[1]  Untuk itu perlu  membahas sepak terjang Calvin maupun pemikiran nya untuk memahami dinamika kotemporer Barat. Berbagai pertanyaan bagaimana latar belakang kehidupan Calvin, bagaimana pemikiran nya, sampai apa saja yang menjadi dasar pemikiran nya akan dibahas dalam makalah ini. Semoga makalah singkat ini mampu menjelaskan sosok reformator Calvin, atau setidaknya sekedar mampu memahaminya.

II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang timbulnya reformasi gereja?
2. Bagaimana daftar riwayat kehidupan Calvin?
3. Bagaimana pemikiran yang diusung oleh Calvin?
4. Darimana fondasi pemikiran Calvin?

III. Tujuan
1. Memahami latar belakang munculnya gerakan reformasi gereja
2. Mengetahui daftar riwayat sosok reformator Calvin
3. Memahami pemikiran-pemikiran Calvin
4. Mengetahui sumber fondasi pemikiran Calvin

BAB II
PEMBAHASAN

IV. Latar Belakang Munculnya Gerakan Reformasi Gereja
Pada mulanya gerakan reformasi gereja merupakan rangkaian gerakan protes kaum bangasawan Jerman terhadap dominasi kekuasaan imperium Katolik Roma. Tetapi, pada perkembangan nya gerakan ini memiliki makna yang lebih luas, ia dianggap identik dengan semua gerakan yang menentang dominasi kekuasaan Katolik Roma. Gerakan reformasi gereja merupakan gerakan lanjutan dari gerakan renaisans Italia. Keduanya sama-sama diinspirasi oleh pemikiran Yunani-Romawi yang menekankan aspek individualisme, menempatkan manusia dalam posisinya yang terhormat.[2] Keduanya juga lahir karena pengaruh perkembangan kapitalisme, perdagangan, dan merkantilisme yang marak berkembang pada abad 14-16. Selain itu, renaisans dan reformasi muncul sebagai akibat perlawanan gigih terhadap dominasi kekuasaan Katolik Roma.[3] Setidaknya ada 7 poin yang bisa diambil untuk menjelaskan latar belakang timbulnya gerakan reformasi gereja di Eropa. 7 poin tersebut adalah:[4]

1. Penyimpangan gereja Katolik
Penyimpangan yang dilakukan oleh pemuka Katolik merupakan salah satu penyebab timbulnya gerakan reformasi gereja yang merebak di Eropa pada waktu itu. Penyimpangan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk. Diantaranya adalah adanya praktek KKN dalam memperoleh posisi sosial keagamaan. Misalnya seperti kasus Paus Leo X, Paus Katolik ini memperoleh sejumlah $ 5.250.000 per tahun dari hasil penjualan jabatan-jabatan gerejani. Ironisnya mereka yang berkuasa karena menyogok berani melakukan tindakan tak terpuji seperti korupsi dan komersialisasi jabatan.

Ada juga Paus yang melakukan tindakan amoral seperti kasus Alexander VI. Diketahui Paus yang berkuasa saat reformasi protestan meletus ini telah memiliki delapan anak haram. 7 diantaranya dimiliki sebelum menjadi Paus. Dengan kata lain, ia hidup bersama tanpa nikah sebelum menjadi Paus. Bagi kaum reformator ini merupakan salah satu bentuk ketidak konsistennya gereja dan termasuk penistaan agama, yang pada waktu berlaku peraturan larangan menikah bagi para pemuka agama katolik.
2. Indulgencies (penjualan surat-surat pengampunan dosa)
Penjualan surat-surat pengampunan dosa (indulgencies) merupakan penyimpangan lainnya yang turut memicu lahirnya  gerakan reformasi. Dengan alasan keagamaan untuk membangun gereja santo petrus di Roma Vatikan, Paus mengumpulkan dana melalui penjualan surat-surat indulgencies. Mereka yang membeli surat-surat indulgencies akan memperoleh pengampunan Tuhan. Semakin besar uang yang dibayarkan semakin besar pula dosa yang diampuni Tuhan. Bahkan Paus mendeklarasikan bahwa surat pengampunan dosa juga bisa menghapus dosa-dosa orang yang telah meninggal.

3. Sakramen suci
Penyimpangan agama juga terjadi di sakramen suci. Gereja dianggap menjadi agen utama terjadinya veneration of relics terhadap benda-benda keramat atau tokoh-tokoh suci. Menurut kaum reformis, sakramen, pemujaan, dan kultus itu menimbulkan takhayul dan mitologisasi yang tidak masuk akal. Sesuatu yang bersifat sekuler disakralisasi.

4. Doktrin Augustianisme
Doktrin augustianisme juga merupakan penyebab lain timbulnya reformasi. Doktrin Agustinus yang menganggap bahwa manusia hanya sebagai wayang di hadapan Tuhan menyebabkan fatalisme sosial. Manusia tak ubahnya seperti wayang, tak mampu  mengubah sebenuhnya nasib dirinya, semuanya berada di tangan Tuhan. Menurut kaum reformator ini merupakan sesuatu yang meniadakan kerja keras dan spesialisasi manusia, seolak-olah manusia tak berdaya untuk merubah sesuatu dalam kehidupannya.

5. Perkembangan kapitalisme dan krisis ekonomi
Perkembangan kapitalisme dan krisis ekonomi di kawasan imperium gereja pada waktu itu turut mendorong terjadinya reformasi gereja. Perkembangan kapitalisme juga menuntut reinterpretasi terhadap doktrin Katoliknya, misalnya seperti ajaran pembungaan uang. Pembunggan uang dihalalkan atau diharamkan. Andaikata diharamkan, bagaimana bank bisa bertahan karena seluruh pembiayaan bank mengandalkan mekanisme pembungaan uang. 

6. Masalah pajak
Masalah pajak juga turut mempertajam gerakan reformasi gereja. Penduduk terutama kalangan bawah merasa tertekan dengan biaya pajak yang terlampau tinggi oleh ketetapan gereja.  Pajak yang tinggi menyababkan arus kas gereja masuk luar biasa besarnya. Dengan uang itu dibangunnya gereja-gereja mewah, sementara penduduk hidup dengan kemiskinan. Ketimpangan sosial pun tak terelakkan. Timbul lah kecemburuan sosial kaum bangsawan yang kemudian menuntut pajak itu dihapuskan atau diturunkan. Tuntutan itu semakin menguat ketika mereka mengetahui sebagian pajak digunakan untuk kepentingan pribadi para pemuka agama. Mulailah rakyat bersatu padu untuk menentang kekuasaan kepausan

7. Munculnya doktrin negara bangsa
Selain cita-cita reformasi, kaum reformator juga mempunyai cita-cita politik yaitu mereka berambisi untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan politik dan spiritual imperium Romawi Katolik dan bermaksud membentuk pemerintahan sendiri dengan batas-batas teritori yang ditentukan. Cita-cita politik inilah yang kemudian hari melahirkan doktrin negara bangsa di kawasan Eropa. Doktrin negara bangsa menolak intervensi paus dalam persoalan-persoalan internal kenegaraan. Semakin kuat intevensi paus semakin kuat pulalan doktrin negara bangsa berkembang

V. Riwayat Hidup Calvin
Calvin adalah anak kedua dari lima bersaudara. Orang tuanya bernama Gerard Cauvin dan Jeanne Le Franc Cauvin. Ayahnya adalah seorang yang cukup sukses dan bekerja sebagai sekretaris dari uskup di Noyon. Dalam literatur sang ayah disebut sebagai seorang yang rajin, namun ambisius dan materialistik; sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang saleh dan pengikut setia Gereja Katolik. Sejak Calvin masih kecil, sang ayah telah menjadi seorang pejabat yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak kedudukan dalam pekerjaannya, sehingga Calvin berhasil mendapatkan semacam beasiswa serta memperoleh pendidikan yang baik. Itulah sebabnya pada masa mudanya ia lebih sering bergaul dengan kalangan elit dan bangsawan (aristokrat). Setelah sang ibu meninggal, ia pada usia remaja (tepatnya 14 tahun) dikirim ke Universitas Paris untuk menempuh pendidikan keimaman (priesthood), yang mirip dengan sekolah teologi. Di sana ia meraih gelar Master of Arts (versi lain mencatat: Bachelor of Arts) pada usia 19 tahun (1528).[5]

Tetapi kesuksesan orang tuanya tidak terlalu lama. Sang ayah belakangan terlibat konflik dengan atasannya, seorang uskup, yang akhirnya merekomendasikan supaya sang ayah diekskomunikasikan dari gereja. Itulah sebabnya mengapa sang ayah selanjutnya tidak menginginkan anaknya menjadi seperti dirinya (yaitu bekerja dan melayani di lingkungan gereja) dan Calvin selanjunya diarahkannya untuk menempuh pendidikan di Universitas Orleans dalam bidang hukum. Ketika berkuliah di sana ia dididik di bawah seorang guru yang bernama Pierre de l’Etoile. Dari tempat ini ia melanjutkan ke Universitas Bourges di bawah seorang pengacara humanis yang bernama Andrea Alciati. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di sana dengan meraih gelar doktor hukum tahun 1531 (dan pada tahun yang sama ayahnya meninggal dunia). Setelah itu ia kembali ke Paris dan menulis buku pertamanya (A Commentary on De Clementia, 1532) yang membahas tentang pikiran etika dari Lucius Annaeus Seneca, yakni seorang filsuf dan negarawan Romawi yang sangat brillian dan produktif.[6]

Kira-kira dua tahun kemudian, ia menghasilkan karyanya yang monumental, yaitu buku Institutio (Institutio Religionis Christianae) Maret 1536. Buku ini dianggap sebagai salah satu buku yang mempengaruhi jalannya sejarah teologi. Melalui karya tersebut, Calvin terlihat sebagai seseorang yang memiliki pikiran jernih, sistematis, dinamis, kreatif dan transformatif. Dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, ia bertemu dengan seorang yang bernama William Farel; melalui tokoh inilah ia mengenal gerakan Reformasi yang telah dimulai oleh Luther. Karena tertarik dan bersimpati pada gerakan ini, ia sering berada di kota Jenewa. Di sana ia melayani sebagai seorang pendeta, pengkhotbah, dan penafsir Alkitab hingga akhir hidupnya. Di kota itulah ia menulis beberapa buku tafsiran, yaitu Perjanjian Lama sebanyak 23 kitab dan semua Perjanjian Baru, kecuali kitab Wahyu. Ia juga menghasilkan traktat-traktat, bukan hanya yang bersifat devosional, tetapi juga yang bersifat mengoreksi kekeliruan doktrinal maupun pengajaran yang bersifat pastoral. Ia menderita migrain, asma, katarak, wasir, arthritis, terkadang demam, dan akhirnya terjangkit tuberculosis. Tetapi semangat kerja dan pelayanannya tidak pernah mengendor hingga ia meninggal 1564 di usia yang terbilang masih muda, 55 tahun.[7]

VI. Pemikiran Calvin
Setidaknya ada 3 poin pemikiran Calvin yang cukup mendalam untuk dibahas. 3 poin tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan tentang Allah
Begitu seseorang membaca permulaan Institutio, terbukalah sebuah tesis dasar dari Calvin tentang Allah seperti apa yang diberitakan dalam iman Kristen. Calvin merumuskan pemikiran bahwa pengetahuan manusia tentang Allah sebatas Allah sebagai Pencipta dan sekaligus manusia sebagai ciptaan. Sebagai ciptaannya, manusia tidak akan pernah mengenal Allah sepenuh-penuhnya dan teologi yang dibangun adalah teologi yang terbatas dalam ciptaan. Jikalau demikian, bagaimana manusia sebagai ciptaan yang terbatas itu dapat mengenal Allah dan dirinya sendiri? Menurutnya, manusia dapat sampai pada dua macam pengetahuan tersebut melalui alam dan Alkitab. Calvin menganggap bahwa ciptaan, terutama manusia, yang ada dalam lingkup wahyu umum tidak dapat menuntun pada cahaya kebenaran menuju pada sang Pencipta. Hanya Alkitablah yang dapat memberikan pertolongan kepada manusia pada pengenalan akan Allah yang benar.

Boleh dikata di dalam Institutio Calvin dengan yakin mengatakan bahwa Alkitab sebagai wahyu khusus selalu mendahului bahkan berada pada posisi di atas wahyu umum. Baginya, bila seseorang mencari Allah di luar wahyu khusus ini, usahanya menjadi sia-sia untuk menemukan pengetahuan yang benar tentang Allah. Jadi aksioma sederhana yang hendak disampaikannya cukup jelas, dari dalam Alkitab kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa manusia adalah ciptaan, dari dalam Alkitab juga mengetahui tentang adanya sang Pencipta. Sang Pencipta tersebut digambarkannya sebagai pribadi yang secara tak berhingga jauh lebih besar dari pada ciptaan.

2. Doktrin Augustianisme
Calvin juga terpengaruh dengan doktrin Agustinus. Menurutnya, takdir semua manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Jadi tak ada yang bisa mengubahnya, sekalipun itu seorang pastor. Jadi bisa diibaratkan bahwa pemikiran Calvin tentang takdir menganggap manusia sebagai wayang dan Tuhan sebagai dalang. Calvin juga membenarkan adanya dosa warisan yang sebelumnya menjadi pemikiran Agustinus. Calvin berasumsi bahwa setiap manusia yang terlahir di dunia ini membawa dosa bawaan akibat Adam. Meski demikian, Calvin berpendapat bahwa manusia bisa menghilangkan semua dosa tersebut bila ia mau berbuat baik pada sesama dan senantiasa beribadah pada Tuhan.

3. Hidup Asketis
Calvin menyeru kepada umat manusia untuk hidup asketis. Asketis yang dimaksudkan Calvin adalah askestis duniawi. Menurutnya manusia juga harus bisa menahan nafsu binatangnya. Namun menjadi seorang biarawan atau biarawati bukanlah hal yang tepat baginya. Bagi Calvin, kehidupan sehari-hari adalah sarana yang paling tepat dalam mengontrol dan menahan nafsu binatang yang melekat pada diri manusia. Dengan begitu, setiap orang yang beragama Kristen bisa menjadi pastor dalam hidupnya sehari-hari dan juga keluarganya. Asketisme duniawi juga mengajarkan orang perlu kaya dan tidak harus takut terhadap kekayaan. Kekayaan menurut pemikiran Calvin bukanlah suatu dosa, yang menimbulkan dosa adalah apabila kekayaan diperoleh dengan cara yang haram dan digunakan untuk foya-foya.

Menurut Calvin, ada satu dosa lagi yang harus dihindari oleh manusia yaitu menyia-nyiakan waktu. Gagasan Calvin yang satu ini tidak terlepas dari pemikiran Weber yang menyebutkan bahwa pemborosan waktu merupakan dosa yang paling besar. Pemborosan waktu dalam pergaulan sosial, melakukan hal sia-sia, foya-foya, bicara tak tentu arah, bahkan melakukan tidur berlebihan (kecuali dalam rangka menyehatkan diri). Semua dikutuk oleh Tuhan dan menjadi sebuah dosa moralitas yang tak bisa diampuni. Asketisme Protestan yang diusung oleh John Calvin inilah yang menjadi hal yang menjunjung tinggi rasionalitas dan juga efisiensi.  Calvin juga sependapat dengan Luther tentang penghapusan sakramen suci gereja karena bisa membodohkan umat manusia. Dengan begitu, manusia akan memiliki posisi langsung dengan Tuhan tanpa perantara Paus ataupun pastor.[8]

VII. Sumber Pemikiran Calvin
Sampailah ke sebuah pertanyaan darimanakah Calvin memperoleh inspirasi dalam merumuskan doktrin-doktrinnya? Ada 3 sumber yang menjadi framework pemikiran Calvin. Pertama, ajaran nabi-nabi Hebrew dan Al-kitab, baik yang perjanjian lama maupun perjanjian baru. Kedua, dari lutheranisme dan augustianisme. Banyak kemiripan pemikiran Calvin dengan Luther dan Augustinus. Ketiga, sumber-sumber ajaran Islam. Menurut Nurcholis Madjid, pengaruh sumber-sumber Islam banyak sekali yang menjadi kerangka pemikiran Calvin. Semisal seperti, ajaran tentang keterbukaan penafisran Al-kitab. Sebelumnya dalam Kristen tidak mengenal keterbukaan penafsiran kitab suci oleh umum, penafsiran hanya boleh dilakukan oleh Pastor.

Referensi
[1] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 156
[2] Ibid., h. 143-144
[3] Ibid.,
[4] Ibid., h. 145-149
[5] Daniel Lucas Lukito, 500 Tahun Yohanes Calvin: Pengetahuan Tentang Allah Adalah Testing Ground Untuk Mengenal Manusia, Jurnal Veritas (April 2009), h. 4
[6] Ibid., h. 5.
[7] Ibid., h. 6
[8] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 156-160
luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com